(1)Runtuh semua hasratku. Harta paling berharga yang kumiliki, kini berada dalam masa sulitnya.
(2)Di rumah sakit, aku melihat seseorang yang baru saja ke luar dari ruang Ibuku. Aku mengabaikannya. Aku masuk ke dalam ruangan, lalu memandang wajah Ibuku dan menangis di atas tangannya yang lembut.
(3)Rasa khawatirku semakin mereda, saat Ibuku mulai menggerakkan tangannya dan membuka matanya. Aku tersenyum. Beliau berkata, “Jangan khawatirkan Ibu, Dika. Jaga diri kamu baik-baik, ya.” Namun, itu semua hanyalah kebahagiaan yang semu. Ibuku kembali terlelap. Terlelap dalam tidur panjangnya tanpa bernafas. Hatiku menjerit kesakitan. Hartaku, telah lenyap bersama angan.
(4)Satu tahun berlalu, kehidupanku semakin cerah. Aku meraih nilai Ujian Nasional tertinggi di sekolahku. Aku semakin yakin, kesuksesanku ada di genggamanku. Aku melanjutkan sekolah ke tingkat SMP melalui jalur beasiswa. Meskipun, banyak cibiran dan ejekan yang keluar dari mulut teman-temanku. “Ah, kamu orang miskin, ya. Sekolah aja dikasih gratisan.” Namun, ada sosok Bu Dewi (wali kelasku) yang selalu membangkitkanku. Itulah mengapa aku selalu merindukan sosok Ibuku saat aku bersama Bu Dewi. Kini, cibiran dari teman-temanku berangsur-angsur larut menjadi sebuah kebanggaan. Aku yang semakin menonjolkan prestasiku, membuat mereka ingin berteman denganku. Tanpa melihat status keluarga.
(Sumber: secercah Asa.Nesa Tikasari.http://cerpenmu.com)
Makna kata runtuh semua hasratku pada kutipan cerpen tersebut adalah . . . .