KUIS CERPEN 1

KUIS CERPEN 1

7th Grade

5 Qs

quiz-placeholder

Similar activities

Asesmen Formatif Tokoh dan Penokohan Cerita Fantasi Kelas 7C

Asesmen Formatif Tokoh dan Penokohan Cerita Fantasi Kelas 7C

7th Grade

10 Qs

Teks Narasi

Teks Narasi

7th Grade

10 Qs

FORMATIF AWAL PEMBELAJARAN 1 (NARASI)

FORMATIF AWAL PEMBELAJARAN 1 (NARASI)

7th Grade

10 Qs

Teks Deskripsi Kelas 7

Teks Deskripsi Kelas 7

7th Grade

10 Qs

Teks Cerita Fantasi

Teks Cerita Fantasi

7th Grade

10 Qs

Teks Narasi kelas 7

Teks Narasi kelas 7

7th Grade

10 Qs

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Cerita Fantasi

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Cerita Fantasi

7th Grade

10 Qs

KUIS FABEL

KUIS FABEL

1st Grade - Professional Development

10 Qs

KUIS CERPEN 1

KUIS CERPEN 1

Assessment

Quiz

World Languages

7th Grade

Medium

Created by

Warsita N. Ardiyanti

Used 33+ times

FREE Resource

5 questions

Show all answers

1.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

2 mins • 1 pt

Melupakan Tangisan

▪ Umi Rahayu


Kalau kau mengenal Ibuku dengan saksama, kau akan mendapatinya seperti jasad yang sekarat. Setelah semua kakakku menikah, aku pikir Ibu akan bertambah sejahtera karena hanya aku yang menjadi beban terakhirnya. Aku pikir, Ibu akan merasa merdeka karena semua anaknya telah berhasil ia sekolahkan hingga sarjana. Ya. Meski tanpa Ayah, Ibu selalu memaksaku dan ketiga kakakku untuk melanjutkan studi hingga strata satu.


Kesal sekali sebenarnya ketika kakakku yang terakhir, Ineke, beberapa tahun yang lalu tiba-tiba minta putus kuliah karena ingin menikah dengan seorang lelaki pemilik warung soto di Purwokerto.


―Doa restu sekalian keluarga sangat Ineke harapkan. Ineke sudah tidak bisa lagi menahan hasrat menikah, bukankah lebih baik menikah daripada mendatangi zina?


―Kamu yakin? desak Kak Zati.


Dalam suaranya aku berani taruhan bahwa ia tidak setuju dengan keputusan Ineke. Tapi ia tidak berani mengatakan secara gamblang, sebab Kak Zati selalu ingin Ibu yang memutuskan segalanya. Demikian dengan kakak tertua kami, Kak Wibowo yang juga menyimpan marah. Sama dengan Kak Zati, Kak Wibowo tidak pernah mau berpendapat jika ada Ibu.


Mata elang Ibu menatap kami sebentar-bentar. Aku menangkap bahwa Ibu membutuhkan bantuan. Kemudian aku angkat bicara.


―Aku tidak merestui sebelum Kak Ineke lulus kuliah.‖

―Meski Ibu memaksa aku untuk kuliah, tapi aku tetap tidak akan kuliah,‖ mata Ineke tajam menghunus mataku.

―Pikiran setan!‖


Meski tahu bahwa ucapanku terlampau kasar, tapi aku tidak menyesal sedikit pun. Yang aku sesali kemudian adalah karena aku tidak ikut musyawarah keluarga sampai selesai. Dan pada akhirnya yang aku tahu adalah Ineke menikah satu bulan kemudian. Aku tidak muncul di pesta pernikahan Ineke, aku memilih mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Setelah Ineke menikah, ia ikut suaminya. Dan ketika rumah sepi, aku baru mau keluar dari kamar. Aku mendekat kepada Ibu yang sedang menjahit. Wajah Ibu tampak sangat tua pada jam-jam ia bekerja. Rambutnya yang mulai menampakkan uban terlihat sedikit berminyak.


Sumber: kumpulan hasil lomba cerpen HIMA BSI UNNES tahun 2017.


Informasi manakah yang tidak terdapat pada cerita tersebut?

Ineke enggan melanjutkan kuliahnya meskipun Ibu memaksa

Tokoh Aku menyesal tidak ikut musyawarah keluarga sampai selesai

Tokoh Aku menyesal karena telah berkata kasar kepada kakaknya

Hingga akhirnya Ineke melanjutkan kuliahnya dan menikah setelah lulus kuliah

Kak Zati dak Kak Wibowo merasa kecewa atas keputusan Ineke

2.

OPEN ENDED QUESTION

2 mins • 1 pt

Melupakan Tangisan

▪ Umi Rahayu


Kalau kau mengenal Ibuku dengan saksama, kau akan mendapatinya seperti jasad yang sekarat. Setelah semua kakakku menikah, aku pikir Ibu akan bertambah sejahtera karena hanya aku yang menjadi beban terakhirnya. Aku pikir, Ibu akan merasa merdeka karena semua anaknya telah berhasil ia sekolahkan hingga sarjana. Ya. Meski tanpa Ayah, Ibu selalu memaksaku dan ketiga kakakku untuk melanjutkan studi hingga strata satu.


Kesal sekali sebenarnya ketika kakakku yang terakhir, Ineke, beberapa tahun yang lalu tiba-tiba minta putus kuliah karena ingin menikah dengan seorang lelaki pemilik warung soto di Purwokerto.


―Doa restu sekalian keluarga sangat Ineke harapkan. Ineke sudah tidak bisa lagi menahan hasrat menikah, bukankah lebih baik menikah daripada mendatangi zina?


―Kamu yakin? desak Kak Zati.


Dalam suaranya aku berani taruhan bahwa ia tidak setuju dengan keputusan Ineke. Tapi ia tidak berani mengatakan secara gamblang, sebab Kak Zati selalu ingin Ibu yang memutuskan segalanya. Demikian dengan kakak tertua kami, Kak Wibowo yang juga menyimpan marah. Sama dengan Kak Zati, Kak Wibowo tidak pernah mau berpendapat jika ada Ibu.


Mata elang Ibu menatap kami sebentar-bentar. Aku menangkap bahwa Ibu membutuhkan bantuan. Kemudian aku angkat bicara.


―Aku tidak merestui sebelum Kak Ineke lulus kuliah.‖

―Meski Ibu memaksa aku untuk kuliah, tapi aku tetap tidak akan kuliah,‖ mata Ineke tajam menghunus mataku.

―Pikiran setan!‖


Meski tahu bahwa ucapanku terlampau kasar, tapi aku tidak menyesal sedikit pun. Yang aku sesali kemudian adalah karena aku tidak ikut musyawarah keluarga sampai selesai. Dan pada akhirnya yang aku tahu adalah Ineke menikah satu bulan kemudian. Aku tidak muncul di pesta pernikahan Ineke, aku memilih mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Setelah Ineke menikah, ia ikut suaminya. Dan ketika rumah sepi, aku baru mau keluar dari kamar. Aku mendekat kepada Ibu yang sedang menjahit. Wajah Ibu tampak sangat tua pada jam-jam ia bekerja. Rambutnya yang mulai menampakkan uban terlihat sedikit berminyak.


Sumber: kumpulan hasil lomba cerpen HIMA BSI UNNES tahun 2017.


Mengapa Kak Zati tidak berani secara gamblang menyampaikan kepada Ineke kalau Ia tidak setuju atas keputusannya? Jelaskan jawabanmu!

Evaluate responses using AI:

OFF

3.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

2 mins • 1 pt

Dua Wajah Ibu

Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.


Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.


Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.

Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.


Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.


”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.


”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.


”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.


Sumber: https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/05/dua-wajah-ibu/gunturalam


Pernyataan yang sesuai dengan cerpen “Dua Wajah Ibu” yaitu....

Mak Inang sudah satu purnama berada di rumah Jamal

Jamal adalah anak lelaki satu-satunya

Kondisi yang diceritakan dalam cerpen yaitu Mak Inang belum berada di Jakarta

Jakarta adalah kota yang benar-benar menakjubkan, seperti surganya dunia.

4.

OPEN ENDED QUESTION

2 mins • 1 pt

Dua Wajah Ibu

Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.


Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.


Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.

Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.


Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.


”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.


”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.


”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.


Sumber: https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/05/dua-wajah-ibu/gunturalam


Berdasarkan cerpen “Dua Wajah Ibu”, jelaskan apa yang dirasakan Mak Inang saat di rumah Jamal?

Evaluate responses using AI:

OFF

5.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

1 min • 1 pt

Hidup Dalam Pelajaran

Tetesan air berjatuhan kala hujan membasahi seperempat Kota Solo. Bias cahaya matahari kembali terpantul dari butiran air yang menempel pada dedaunan. Aroma bunga dan kesegaran di pagi hari tercium dari taman kecil rumah Pratiwi. Rumah modern di antara rumah-rumah desa lainnya. Sarapan telah tersedia di meja makan, menunggu para penghuni rumah berkumpul dan melahapnya. Bunda dan Pratika sudah menunggu si bungsu, Ririn, di meja makan. Ririn dengan tergesa-gesa berlari kecil ke meja makan menemui Bunda dan kakaknya untuk sarapan bersama.


― “Hati-hati Rin, jangan berlari seperti itu,” tegur Bunda.

― “Iya Bun, maaf. Keburu laper, hehe.” sahut Ririn.

― “Makannya pelan-pelan saja.”


Saat Pratika dan Ririn kecil, Ayahnya telah meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itu Bunda mengurus kedua anak perempuannya seorang diri dan memilih untuk tidak menikah lagi. Kini kedua anak perempuan itu telah tumbuh dewasa, Pratika menjadi pemilik sebuah yayasan pendidikan swasta yang bantu oleh pamannya, sedangkan Ririn masih mengenyam bangku SMA di daerahnya dan akan melaksanakan ujian nasional.


Melihat perjuangan sang Bunda yang telah mendidik anak-anaknya dengan baik dan menjadikan mereka seperti ini, menjadi motivasi tersendiri untuk Pratika. Pratika adalah anak yang penurut, mandiri, cerdas, dan disiplin dalam berbagai hal. Semenjak sekolah dulu, ia telah membantu Bundanya meringankan sedikit beban biaya yang dikeluarkan Bundanya. Setiap hari dia membawa kue-kue buatan Bundanya dan menjualnya disekolah, uang dari hasil berjualan itu sebagian ia berikan kepada Bunda dan sebagian untuk uang sakunya.


Karena kecerdasan yang ia miliki, Pratika mendapatkan beasiswa untuk kuliah di universitas ternama di Jogja. Betapa senangnya saat Pratika tau ia mendapatkan beasiswa dari Universitas yang ia idamkan selama ini. Berbeda dengan kakaknya, Ririn yang juga pandai dalam pendidikan tidaklah semandiri dan disiplin. Ririn sangat manja, tetapi dia baik kepada semua orang. Tidak lagi memiliki Ayah seperti temanteman yang lain, seringkali membuat Ririn merasa iri. Oleh karena itu ia sangat manja dan ingin mendapat perhatian lebih dari orang-orang disekitarnya.


Sumber: Kumpulan hasil lomba cerpen HIMA BSI UNNES 2017


Setelah membaca paragraf pertama pada cerita di atas, kita dapat mengetahui bahwa keterangan waktu yang tergambar adalah pada ...

Dini hari

Menjelang pagi

Pagi hari

Sore hari