SOAL ANBK LITERASI 2023

Quiz
•
World Languages
•
9th - 12th Grade
•
Hard

Super Trainer 2022
Used 36+ times
FREE Resource
8 questions
Show all answers
1.
FILL IN THE BLANK QUESTION
2 mins • 3 pts
Bunga Matahari dan Pertemuannya dengan Hangat
Ayahku sering dipanggil Pak Kebun. Ia orang yang ulet dan sabar. Terutama ketika merawatku. Ia sering bercerita mengenai bagaimana aku tumbuh. Suatu pagi, ia pernah menceritakan bagaimana aku lahir dari biji yang kecil. Kepalaku yang runcing ditancapkan di satu wadah yang bernama polybag. Di pagi yang lain, ia menceritakan bagaimana ia menungguku berkecambah hingga 10 senti atau memunculkan 4 helai daun. Selanjutnya aku dipindahkan ke tanah yang lebih luas.
Pernah suatu siang dia mengeluh sedikit mengenai susahnya aku diberi makan. Katanya aku harus disiram setiap hari. Rentan terhadap hama seperti fungi, serangga, dan bekicot. Aku harus ada dalam tanah campuran pupuk kandang. Perbandingannya yaitu 70% tanah, 30% pupuk kandang, dan tanah harus bekisar pH 6,0-7,5. Ribet deh katanya. Namun, ayah tetap sabar merawat dan menyayangiku tanpa kenal lelah.
Pengalaman berkesan adalah ketika ayah memperkenalkanku pada hangat. Pengalaman yang paling kuingat.
Kata ayahku, hangat adalah suatu hal yang patut disyukuri keberadaannya. Hangat merupakan kata yang muncul di doa-doanya setiap pagi. Kata ayah, aku akan mati jika hangat berubah menjadi panas maupun dingin. Tanpa hangat, aku tidak bisa hidup. Aku bertanya-tanya mengapa aku harus ada bersama hangat minimal 6-8 jam sehari. Ayah hanya tersenyum sambil memberi pupuk dan sedikit air untuk makan siang.
“Suatu saat nanti kamu akan mengerti. Untuk saat ini, sebut saja ia matahari,” begitu katanya.
Matahari, aku menyadari ada yang tumbuh dalam diriku setiap kamu datang memberi hangat. Menembus tanah dan daun basah, memberi makan. Mengangkat tunas-tunas, memekarkan bunga. Betapa senangnya aku.
Matahari, kamu baik hati. Hari-hari berlalu bagai angin. Selama itu pula kamu selalu ada bagaikan sahabat. Kamu mendengarkan aku menyerocos setiap hari. Tentang ini, tentang itu, tentang begini, begitu. Tak pernah sekalipun keberadaanmu ingin aku lewatkan. Aku selalu ingin mendekat. Ayah kadang tertawa melihatku mengikutimu kemanapun engkau pergi. Sedikit-sedikit menengok, melihat kanan-kiri, seakan aku bisa kehilanganmu sewaktu-waktu. Betapa dekatnya kita. Walau engkau di atas nun jauh di sana.
Matahari, terima kasih sudah menjagaku agar tetap ada. Tak terasa seratus hari lebih sudah kita lewati bersama. Kini aku sudah 160 cm, hampir setinggi ayahku. Daun-daunku berwarna hijau. Wajahku besar dihiasi mahkota kuning, mirip dengan warna hangat yang rutin kamu beri. Terima kasih sudah menemaniku dengan sabar selama ini. Mungkin di atas sana terasa sepi. Namun, aku harap kamu tahu bahwa di sini, aku dan teman-temanku mengucap syukur atas keberadaanmu setiap hari. Kami berlomba-lomba untuk mendapat kesempatan memandangmu sedikit lebih dekat. Terima kasih Matahari. Terima kasih Tuhan atas berkah yang diberikan pada kami, makhluk ciptaan-Mu.
Sumber:
https://gdm.id/cara-menanam-bunga-matahari/
https://www.bulirjeruk.com/2015/10/belajar-dari-bunga-matahari.html
https://kutanam.com/cara-menanam-bunga-matahari/
Jika Pak Kebun ingin mencari wadah yang tepat untuk menanam bunga matahari, kata kunci yang dapat ia masukkan dalam laman pencarian adalah
2.
MULTIPLE CHOICE QUESTION
2 mins • 3 pts
Bunga Matahari dan Pertemuannya dengan Hangat
Ayahku sering dipanggil Pak Kebun. Ia orang yang ulet dan sabar. Terutama ketika merawatku. Ia sering bercerita mengenai bagaimana aku tumbuh. Suatu pagi, ia pernah menceritakan bagaimana aku lahir dari biji yang kecil. Kepalaku yang runcing ditancapkan di satu wadah yang bernama polybag. Di pagi yang lain, ia menceritakan bagaimana ia menungguku berkecambah hingga 10 senti atau memunculkan 4 helai daun. Selanjutnya aku dipindahkan ke tanah yang lebih luas.
Pernah suatu siang dia mengeluh sedikit mengenai susahnya aku diberi makan. Katanya aku harus disiram setiap hari. Rentan terhadap hama seperti fungi, serangga, dan bekicot. Aku harus ada dalam tanah campuran pupuk kandang. Perbandingannya yaitu 70% tanah, 30% pupuk kandang, dan tanah harus bekisar pH 6,0-7,5. Ribet deh katanya. Namun, ayah tetap sabar merawat dan menyayangiku tanpa kenal lelah.
Pengalaman berkesan adalah ketika ayah memperkenalkanku pada hangat. Pengalaman yang paling kuingat.
Kata ayahku, hangat adalah suatu hal yang patut disyukuri keberadaannya. Hangat merupakan kata yang muncul di doa-doanya setiap pagi. Kata ayah, aku akan mati jika hangat berubah menjadi panas maupun dingin. Tanpa hangat, aku tidak bisa hidup. Aku bertanya-tanya mengapa aku harus ada bersama hangat minimal 6-8 jam sehari. Ayah hanya tersenyum sambil memberi pupuk dan sedikit air untuk makan siang.
“Suatu saat nanti kamu akan mengerti. Untuk saat ini, sebut saja ia matahari,” begitu katanya.
Matahari, aku menyadari ada yang tumbuh dalam diriku setiap kamu datang memberi hangat. Menembus tanah dan daun basah, memberi makan. Mengangkat tunas-tunas, memekarkan bunga. Betapa senangnya aku.
Matahari, kamu baik hati. Hari-hari berlalu bagai angin. Selama itu pula kamu selalu ada bagaikan sahabat. Kamu mendengarkan aku menyerocos setiap hari. Tentang ini, tentang itu, tentang begini, begitu. Tak pernah sekalipun keberadaanmu ingin aku lewatkan. Aku selalu ingin mendekat. Ayah kadang tertawa melihatku mengikutimu kemanapun engkau pergi. Sedikit-sedikit menengok, melihat kanan-kiri, seakan aku bisa kehilanganmu sewaktu-waktu. Betapa dekatnya kita. Walau engkau di atas nun jauh di sana.
Matahari, terima kasih sudah menjagaku agar tetap ada. Tak terasa seratus hari lebih sudah kita lewati bersama. Kini aku sudah 160 cm, hampir setinggi ayahku. Daun-daunku berwarna hijau. Wajahku besar dihiasi mahkota kuning, mirip dengan warna hangat yang rutin kamu beri. Terima kasih sudah menemaniku dengan sabar selama ini. Mungkin di atas sana terasa sepi. Namun, aku harap kamu tahu bahwa di sini, aku dan teman-temanku mengucap syukur atas keberadaanmu setiap hari. Kami berlomba-lomba untuk mendapat kesempatan memandangmu sedikit lebih dekat. Terima kasih Matahari. Terima kasih Tuhan atas berkah yang diberikan pada kami, makhluk ciptaan-Mu.
Sumber:
https://gdm.id/cara-menanam-bunga-matahari/
https://www.bulirjeruk.com/2015/10/belajar-dari-bunga-matahari.html
https://kutanam.com/cara-menanam-bunga-matahari/
Bagaimana Pak Kebun menceritakan proses tumbuhnya Bunga Matahari?
Terlahir dari biji yang tidak terlalu kecil, tumpul, dan harus ditanam jauh di dalam tanah.
Terlahir dari biji yang tidak terlalu kecil, tumpul, dan harus ditanam jauh di dalam tanah.
Tidak harus selalu dijemur di bawah matahari karena Bunga Matahari tidak tahan panas.
Harus dipindahkan ke tanah yang lebih luas setelah berkecambah 10 senti atau muncul 4 helai daun.
Harus ada dalam tanah campuran pupuk kandang dengan perbandingan 70% pupuk kandang, 30% tanah.
3.
HOTSPOT QUESTION
2 mins • 3 pts
Bunga Matahari dan Pertemuannya dengan Hangat
Ayahku sering dipanggil Pak Kebun. Ia orang yang ulet dan sabar. Terutama ketika merawatku. Ia sering bercerita mengenai bagaimana aku tumbuh. Suatu pagi, ia pernah menceritakan bagaimana aku lahir dari biji yang kecil. Kepalaku yang runcing ditancapkan di satu wadah yang bernama polybag. Di pagi yang lain, ia menceritakan bagaimana ia menungguku berkecambah hingga 10 senti atau memunculkan 4 helai daun. Selanjutnya aku dipindahkan ke tanah yang lebih luas.
Pernah suatu siang dia mengeluh sedikit mengenai susahnya aku diberi makan. Katanya aku harus disiram setiap hari. Rentan terhadap hama seperti fungi, serangga, dan bekicot. Aku harus ada dalam tanah campuran pupuk kandang. Perbandingannya yaitu 70% tanah, 30% pupuk kandang, dan tanah harus bekisar pH 6,0-7,5. Ribet deh katanya. Namun, ayah tetap sabar merawat dan menyayangiku tanpa kenal lelah.
Pengalaman berkesan adalah ketika ayah memperkenalkanku pada hangat. Pengalaman yang paling kuingat.
Kata ayahku, hangat adalah suatu hal yang patut disyukuri keberadaannya. Hangat merupakan kata yang muncul di doa-doanya setiap pagi. Kata ayah, aku akan mati jika hangat berubah menjadi panas maupun dingin. Tanpa hangat, aku tidak bisa hidup. Aku bertanya-tanya mengapa aku harus ada bersama hangat minimal 6-8 jam sehari. Ayah hanya tersenyum sambil memberi pupuk dan sedikit air untuk makan siang.
“Suatu saat nanti kamu akan mengerti. Untuk saat ini, sebut saja ia matahari,” begitu katanya.
Matahari, aku menyadari ada yang tumbuh dalam diriku setiap kamu datang memberi hangat. Menembus tanah dan daun basah, memberi makan. Mengangkat tunas-tunas, memekarkan bunga. Betapa senangnya aku.
Matahari, kamu baik hati. Hari-hari berlalu bagai angin. Selama itu pula kamu selalu ada bagaikan sahabat. Kamu mendengarkan aku menyerocos setiap hari. Tentang ini, tentang itu, tentang begini, begitu. Tak pernah sekalipun keberadaanmu ingin aku lewatkan. Aku selalu ingin mendekat. Ayah kadang tertawa melihatku mengikutimu kemanapun engkau pergi. Sedikit-sedikit menengok, melihat kanan-kiri, seakan aku bisa kehilanganmu sewaktu-waktu. Betapa dekatnya kita. Walau engkau di atas nun jauh di sana.
Matahari, terima kasih sudah menjagaku agar tetap ada. Tak terasa seratus hari lebih sudah kita lewati bersama. Kini aku sudah 160 cm, hampir setinggi ayahku. Daun-daunku berwarna hijau. Wajahku besar dihiasi mahkota kuning, mirip dengan warna hangat yang rutin kamu beri. Terima kasih sudah menemaniku dengan sabar selama ini. Mungkin di atas sana terasa sepi. Namun, aku harap kamu tahu bahwa di sini, aku dan teman-temanku mengucap syukur atas keberadaanmu setiap hari. Kami berlomba-lomba untuk mendapat kesempatan memandangmu sedikit lebih dekat. Terima kasih Matahari. Terima kasih Tuhan atas berkah yang diberikan pada kami, makhluk ciptaan-Mu.
Sumber:
https://gdm.id/cara-menanam-bunga-matahari/
https://www.bulirjeruk.com/2015/10/belajar-dari-bunga-matahari.html
https://kutanam.com/cara-menanam-bunga-matahari/
Berdasarkan teks cerita, bagaimana tokoh si bunga matahari sebelum dan sesudah ia mengenal matahari?
4.
MULTIPLE SELECT QUESTION
2 mins • 3 pts
Bunga Matahari dan Pertemuannya dengan Hangat
Ayahku sering dipanggil Pak Kebun. Ia orang yang ulet dan sabar. Terutama ketika merawatku. Ia sering bercerita mengenai bagaimana aku tumbuh. Suatu pagi, ia pernah menceritakan bagaimana aku lahir dari biji yang kecil. Kepalaku yang runcing ditancapkan di satu wadah yang bernama polybag. Di pagi yang lain, ia menceritakan bagaimana ia menungguku berkecambah hingga 10 senti atau memunculkan 4 helai daun. Selanjutnya aku dipindahkan ke tanah yang lebih luas.
Pernah suatu siang dia mengeluh sedikit mengenai susahnya aku diberi makan. Katanya aku harus disiram setiap hari. Rentan terhadap hama seperti fungi, serangga, dan bekicot. Aku harus ada dalam tanah campuran pupuk kandang. Perbandingannya yaitu 70% tanah, 30% pupuk kandang, dan tanah harus bekisar pH 6,0-7,5. Ribet deh katanya. Namun, ayah tetap sabar merawat dan menyayangiku tanpa kenal lelah.
Pengalaman berkesan adalah ketika ayah memperkenalkanku pada hangat. Pengalaman yang paling kuingat.
Kata ayahku, hangat adalah suatu hal yang patut disyukuri keberadaannya. Hangat merupakan kata yang muncul di doa-doanya setiap pagi. Kata ayah, aku akan mati jika hangat berubah menjadi panas maupun dingin. Tanpa hangat, aku tidak bisa hidup. Aku bertanya-tanya mengapa aku harus ada bersama hangat minimal 6-8 jam sehari. Ayah hanya tersenyum sambil memberi pupuk dan sedikit air untuk makan siang.
“Suatu saat nanti kamu akan mengerti. Untuk saat ini, sebut saja ia matahari,” begitu katanya.
Matahari, aku menyadari ada yang tumbuh dalam diriku setiap kamu datang memberi hangat. Menembus tanah dan daun basah, memberi makan. Mengangkat tunas-tunas, memekarkan bunga. Betapa senangnya aku.
Matahari, kamu baik hati. Hari-hari berlalu bagai angin. Selama itu pula kamu selalu ada bagaikan sahabat. Kamu mendengarkan aku menyerocos setiap hari. Tentang ini, tentang itu, tentang begini, begitu. Tak pernah sekalipun keberadaanmu ingin aku lewatkan. Aku selalu ingin mendekat. Ayah kadang tertawa melihatku mengikutimu kemanapun engkau pergi. Sedikit-sedikit menengok, melihat kanan-kiri, seakan aku bisa kehilanganmu sewaktu-waktu. Betapa dekatnya kita. Walau engkau di atas nun jauh di sana.
Matahari, terima kasih sudah menjagaku agar tetap ada. Tak terasa seratus hari lebih sudah kita lewati bersama. Kini aku sudah 160 cm, hampir setinggi ayahku. Daun-daunku berwarna hijau. Wajahku besar dihiasi mahkota kuning, mirip dengan warna hangat yang rutin kamu beri. Terima kasih sudah menemaniku dengan sabar selama ini. Mungkin di atas sana terasa sepi. Namun, aku harap kamu tahu bahwa di sini, aku dan teman-temanku mengucap syukur atas keberadaanmu setiap hari. Kami berlomba-lomba untuk mendapat kesempatan memandangmu sedikit lebih dekat. Terima kasih Matahari. Terima kasih Tuhan atas berkah yang diberikan pada kami, makhluk ciptaan-Mu.
Sumber:
https://gdm.id/cara-menanam-bunga-matahari/
https://www.bulirjeruk.com/2015/10/belajar-dari-bunga-matahari.html
https://kutanam.com/cara-menanam-bunga-matahari/
Bagaimana Bunga Matahari menggambarkan Si matahari dalam cerita? Klik pada setiap pilihan jawaban benar! Jawaban benar lebih dari satu.
Matahari itu sabar menemaniku tumbuh besar.
Sebagai sahabat yang rajin merawatku setiap hari.
Matahari selalu tepat waktu untuk memberi kehangatan.
Kedermawanannya memberi tanpa meminta balasan.
5.
MULTIPLE SELECT QUESTION
2 mins • 3 pts
Burung-burung yang Menghilang dari Kampung Kami
Dalam keadaan terbaring lemas dengan suhu tubuh yang panas, kakek masih menyuruhku membuat olahan getah perekat untuk menangkap burung. Napasnya berat dan dalam. Suaranya serak dan sangat lirih, ia hanya bisa bicara sambil terpejam.
”Ambil getah pohon karet atau pohon nangka atau pohon benda. Rebus dengan oli bekas hingga mendidih, lalu dinginkan sampai kental dan likat. Tunggu burung cendet itu berbunyi di samping dapur. Jika sudah terdengar, oleskan getah itu pada sepotong ranting yang di bagian ujungnya terikat serangga. Biarkan burung itu datang bertengger. Kakinya akan lekat meski sekuat apa pun ia meronta.”
Nenek tiba-tiba melinangkan air mata. Tangannya mencelupkan selembar kain ke dalam gelas berisi air perasan pucuk asam. Lalu ia angkat dan dikompreskan ke dahi kakek. Sedang ibu yang duduk di samping kakek terus mengaji. Sesekali meniup ubun-ubun kakek dengan serapal doa. Tak lama, setelah ruang kami hanya dilanda isak dan lantunan ayat suci, kakek kembali mengulangi kata-katanya; menyuruhku membuat lem perekat dari getah untuk menangkap burung cendet.
”Coba kau lepas burung-burung itu, Mid. Siapa tahu sakit kakekmu karena tulah burung itu,” pinta nenek kepadaku. Aku cemas hendak menjawab apa, mengingat burung-burung itu bernilai ratusan juta rupiah dan tentu saja kakek masih menyayanginya.
***
Sekitar sebulan sebelum kakek sakit, nenek sering mengomel. Nenek minta kami berhenti menangkap burung karena dari beberapa burung yang kami tangkap termasuk burung yang sudah langka di pulau kami.
”Burung kepodang, cendet, dan burung jalak sudah jarang kita lihat di ladang dan di jalan-jalan. Burung-burung itu kini sudah langka. Mestinya Aki tidak menangkapnya,” ucap nenek kesekian kalinya.
”Justru karena langka aku menangkapnya, karena harganya semakin mahal, Ni!” jawab kakek.
”Pikiranmu kok terbalik sih, Ki? Kalau langka mestinya jangan ditangkap, biar bisa berkembang biak, biar banyak lagi, biar keturunan kita bisa menikmati bunyinya sepanjang zaman.”
”Lho? Pikiranmu yang kebalik. Kelangkaan ini mestinya kita manfaatkan biar burung yang tinggal sedikit itu hanya jadi milik kita. Kita akan kaya raya nanti, hahaha.” jawab kakek sambil tertawa.
Aku hanya bisa mendengar perang mulut keduanya sambil terus mengaduk getah dari pelepah daun siwalan.
”Hai, Ki! Ingat ya! Menangkap burung langka itu membahayakan hidupmu, Ki?”
”Jika itu seekor indukan, kasihan anak-anaknya yang tak bisa makan dan pasti mati. Kamu yang dosa,” suara nenek lebih keras.
”Dan jika itu termasuk burung yang dilindungi. Kamu bisa dipenjara, Ki!” nenek berkacak pinggang. ”Apa pun yang terjadi, pokoknya burung-burung dengan kicau emasnya itu harus kutangkap,” ungkapnya.
”Mid! Sebaiknya kamu berhenti ikut kakekmu menangkap burung, biar tidak tertular dosanya,” pesan nenek.
”Jangan dengar apa kata nenekmu. Tidak akan terjadi apa-apa. Di lereng Hutan Rongkorong aku masih sempat melihat burung jalak dan burung cendet,” kata kakek.
Glosarium:
aki : biasa disingkat “Ki” adalah nama sebutan/panggilan untuk kakek.
benda : terap atau tekalong (Artocarpus elasticus) adalah sejenis pohon buah yang masih satu genus dengan nangka (Artocarpus). Buahnya mirip dengan buah timbul atau kulur, dengan tonjolan-tonjolan serupa duri lunak panjang dan pendek, agak melengket.
Nini : biasa disingkat “Ni” adalah sebutan/panggilan untuk nenek.
rapal : bacaan atau ucapan (biasanya untuk doa atau mantra khusus).
Rongkorong : salah satu bukit di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
tulah : kemalangan yang disebabkan oleh kutuk, karena perbuatan yang kurang baik terhadap orang tua (orang suci dan sebagainya), atau karena perbuatan melanggar larangan; kualat.
Tulisan diadaptasi dari cerpen A. Warits Rovi dengan judul yang sama. Tersaji dalam https://www.kompas.id/baca/cerpen-hiburan/2022/04/21/burung-burung-yang-menghilang-dari-kampung-kami yang dipublikasikan pada 22 April 2022 pukul 22:23 WIB
Jika kamu ingin mencari informasi lebih lanjut tentang fenomena kelangkaan burung di alam liar, kata kunci apa yang kamu ketikkan di internet?
Klik pada setiap pilihan jawaban benar! Jawaban benar lebih dari satu.
jenis burung dilindungi
perburuan burung liar
berburu burung dengan perekat
akibat memburu burung
keanekaragaman hayati
6.
HOTSPOT QUESTION
2 mins • 3 pts
Burung-burung yang Menghilang dari Kampung Kami
Dalam keadaan terbaring lemas dengan suhu tubuh yang panas, kakek masih menyuruhku membuat olahan getah perekat untuk menangkap burung. Napasnya berat dan dalam. Suaranya serak dan sangat lirih, ia hanya bisa bicara sambil terpejam.
”Ambil getah pohon karet atau pohon nangka atau pohon benda. Rebus dengan oli bekas hingga mendidih, lalu dinginkan sampai kental dan likat. Tunggu burung cendet itu berbunyi di samping dapur. Jika sudah terdengar, oleskan getah itu pada sepotong ranting yang di bagian ujungnya terikat serangga. Biarkan burung itu datang bertengger. Kakinya akan lekat meski sekuat apa pun ia meronta.”
Nenek tiba-tiba melinangkan air mata. Tangannya mencelupkan selembar kain ke dalam gelas berisi air perasan pucuk asam. Lalu ia angkat dan dikompreskan ke dahi kakek. Sedang ibu yang duduk di samping kakek terus mengaji. Sesekali meniup ubun-ubun kakek dengan serapal doa. Tak lama, setelah ruang kami hanya dilanda isak dan lantunan ayat suci, kakek kembali mengulangi kata-katanya; menyuruhku membuat lem perekat dari getah untuk menangkap burung cendet.
”Coba kau lepas burung-burung itu, Mid. Siapa tahu sakit kakekmu karena tulah burung itu,” pinta nenek kepadaku. Aku cemas hendak menjawab apa, mengingat burung-burung itu bernilai ratusan juta rupiah dan tentu saja kakek masih menyayanginya.
***
Sekitar sebulan sebelum kakek sakit, nenek sering mengomel. Nenek minta kami berhenti menangkap burung karena dari beberapa burung yang kami tangkap termasuk burung yang sudah langka di pulau kami.
”Burung kepodang, cendet, dan burung jalak sudah jarang kita lihat di ladang dan di jalan-jalan. Burung-burung itu kini sudah langka. Mestinya Aki tidak menangkapnya,” ucap nenek kesekian kalinya.
”Justru karena langka aku menangkapnya, karena harganya semakin mahal, Ni!” jawab kakek.
”Pikiranmu kok terbalik sih, Ki? Kalau langka mestinya jangan ditangkap, biar bisa berkembang biak, biar banyak lagi, biar keturunan kita bisa menikmati bunyinya sepanjang zaman.”
”Lho? Pikiranmu yang kebalik. Kelangkaan ini mestinya kita manfaatkan biar burung yang tinggal sedikit itu hanya jadi milik kita. Kita akan kaya raya nanti, hahaha.” jawab kakek sambil tertawa.
Aku hanya bisa mendengar perang mulut keduanya sambil terus mengaduk getah dari pelepah daun siwalan.
”Hai, Ki! Ingat ya! Menangkap burung langka itu membahayakan hidupmu, Ki?”
”Jika itu seekor indukan, kasihan anak-anaknya yang tak bisa makan dan pasti mati. Kamu yang dosa,” suara nenek lebih keras.
”Dan jika itu termasuk burung yang dilindungi. Kamu bisa dipenjara, Ki!” nenek berkacak pinggang. ”Apa pun yang terjadi, pokoknya burung-burung dengan kicau emasnya itu harus kutangkap,” ungkapnya.
”Mid! Sebaiknya kamu berhenti ikut kakekmu menangkap burung, biar tidak tertular dosanya,” pesan nenek.
”Jangan dengar apa kata nenekmu. Tidak akan terjadi apa-apa. Di lereng Hutan Rongkorong aku masih sempat melihat burung jalak dan burung cendet,” kata kakek.
Glosarium:
aki : biasa disingkat “Ki” adalah nama sebutan/panggilan untuk kakek.
benda : terap atau tekalong (Artocarpus elasticus) adalah sejenis pohon buah yang masih satu genus dengan nangka (Artocarpus). Buahnya mirip dengan buah timbul atau kulur, dengan tonjolan-tonjolan serupa duri lunak panjang dan pendek, agak melengket.
Nini : biasa disingkat “Ni” adalah sebutan/panggilan untuk nenek.
rapal : bacaan atau ucapan (biasanya untuk doa atau mantra khusus).
Rongkorong : salah satu bukit di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
tulah : kemalangan yang disebabkan oleh kutuk, karena perbuatan yang kurang baik terhadap orang tua (orang suci dan sebagainya), atau karena perbuatan melanggar larangan; kualat.
Tulisan diadaptasi dari cerpen A. Warits Rovi dengan judul yang sama. Tersaji dalam https://www.kompas.id/baca/cerpen-hiburan/2022/04/21/burung-burung-yang-menghilang-dari-kampung-kami yang dipublikasikan pada 22 April 2022 pukul 22:23 WIB
Bagaimanakah sikap para tokoh dalam menghadapi setiap peristiwa yang dialaminya?
Pilihlah kebenaran pernyataan berikut untuk menjelaskan jawabanmu!
Klik pada pilihan Benar atau Salah untuk setiap pernyataan berdasarkan isi teks!
7.
HOTSPOT QUESTION
2 mins • 3 pts
Burung-burung yang Menghilang dari Kampung Kami
Dalam keadaan terbaring lemas dengan suhu tubuh yang panas, kakek masih menyuruhku membuat olahan getah perekat untuk menangkap burung. Napasnya berat dan dalam. Suaranya serak dan sangat lirih, ia hanya bisa bicara sambil terpejam.
”Ambil getah pohon karet atau pohon nangka atau pohon benda. Rebus dengan oli bekas hingga mendidih, lalu dinginkan sampai kental dan likat. Tunggu burung cendet itu berbunyi di samping dapur. Jika sudah terdengar, oleskan getah itu pada sepotong ranting yang di bagian ujungnya terikat serangga. Biarkan burung itu datang bertengger. Kakinya akan lekat meski sekuat apa pun ia meronta.”
Nenek tiba-tiba melinangkan air mata. Tangannya mencelupkan selembar kain ke dalam gelas berisi air perasan pucuk asam. Lalu ia angkat dan dikompreskan ke dahi kakek. Sedang ibu yang duduk di samping kakek terus mengaji. Sesekali meniup ubun-ubun kakek dengan serapal doa. Tak lama, setelah ruang kami hanya dilanda isak dan lantunan ayat suci, kakek kembali mengulangi kata-katanya; menyuruhku membuat lem perekat dari getah untuk menangkap burung cendet.
”Coba kau lepas burung-burung itu, Mid. Siapa tahu sakit kakekmu karena tulah burung itu,” pinta nenek kepadaku. Aku cemas hendak menjawab apa, mengingat burung-burung itu bernilai ratusan juta rupiah dan tentu saja kakek masih menyayanginya.
***
Sekitar sebulan sebelum kakek sakit, nenek sering mengomel. Nenek minta kami berhenti menangkap burung karena dari beberapa burung yang kami tangkap termasuk burung yang sudah langka di pulau kami.
”Burung kepodang, cendet, dan burung jalak sudah jarang kita lihat di ladang dan di jalan-jalan. Burung-burung itu kini sudah langka. Mestinya Aki tidak menangkapnya,” ucap nenek kesekian kalinya.
”Justru karena langka aku menangkapnya, karena harganya semakin mahal, Ni!” jawab kakek.
”Pikiranmu kok terbalik sih, Ki? Kalau langka mestinya jangan ditangkap, biar bisa berkembang biak, biar banyak lagi, biar keturunan kita bisa menikmati bunyinya sepanjang zaman.”
”Lho? Pikiranmu yang kebalik. Kelangkaan ini mestinya kita manfaatkan biar burung yang tinggal sedikit itu hanya jadi milik kita. Kita akan kaya raya nanti, hahaha.” jawab kakek sambil tertawa.
Aku hanya bisa mendengar perang mulut keduanya sambil terus mengaduk getah dari pelepah daun siwalan.
”Hai, Ki! Ingat ya! Menangkap burung langka itu membahayakan hidupmu, Ki?”
”Jika itu seekor indukan, kasihan anak-anaknya yang tak bisa makan dan pasti mati. Kamu yang dosa,” suara nenek lebih keras.
”Dan jika itu termasuk burung yang dilindungi. Kamu bisa dipenjara, Ki!” nenek berkacak pinggang. ”Apa pun yang terjadi, pokoknya burung-burung dengan kicau emasnya itu harus kutangkap,” ungkapnya.
”Mid! Sebaiknya kamu berhenti ikut kakekmu menangkap burung, biar tidak tertular dosanya,” pesan nenek.
”Jangan dengar apa kata nenekmu. Tidak akan terjadi apa-apa. Di lereng Hutan Rongkorong aku masih sempat melihat burung jalak dan burung cendet,” kata kakek.
Glosarium:
aki : biasa disingkat “Ki” adalah nama sebutan/panggilan untuk kakek.
benda : terap atau tekalong (Artocarpus elasticus) adalah sejenis pohon buah yang masih satu genus dengan nangka (Artocarpus). Buahnya mirip dengan buah timbul atau kulur, dengan tonjolan-tonjolan serupa duri lunak panjang dan pendek, agak melengket.
Nini : biasa disingkat “Ni” adalah sebutan/panggilan untuk nenek.
rapal : bacaan atau ucapan (biasanya untuk doa atau mantra khusus).
Rongkorong : salah satu bukit di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
tulah : kemalangan yang disebabkan oleh kutuk, karena perbuatan yang kurang baik terhadap orang tua (orang suci dan sebagainya), atau karena perbuatan melanggar larangan; kualat.
Tulisan diadaptasi dari cerpen A. Warits Rovi dengan judul yang sama. Tersaji dalam https://www.kompas.id/baca/cerpen-hiburan/2022/04/21/burung-burung-yang-menghilang-dari-kampung-kami yang dipublikasikan pada 22 April 2022 pukul 22:23 WIB
Bagaimanakah perbedaan karakter para tokoh Kakek dan Nenek dalam cerita tersebut?
Pilihlah kebenaran pernyataan berikut untuk menjelaskan jawabanmu!
Klik pada pilihan Benar atau Salah untuk setiap pernyataan berdasarkan isi teks!
8.
MULTIPLE SELECT QUESTION
2 mins • 3 pts
Burung-burung yang Menghilang dari Kampung Kami
Dalam keadaan terbaring lemas dengan suhu tubuh yang panas, kakek masih menyuruhku membuat olahan getah perekat untuk menangkap burung. Napasnya berat dan dalam. Suaranya serak dan sangat lirih, ia hanya bisa bicara sambil terpejam.
”Ambil getah pohon karet atau pohon nangka atau pohon benda. Rebus dengan oli bekas hingga mendidih, lalu dinginkan sampai kental dan likat. Tunggu burung cendet itu berbunyi di samping dapur. Jika sudah terdengar, oleskan getah itu pada sepotong ranting yang di bagian ujungnya terikat serangga. Biarkan burung itu datang bertengger. Kakinya akan lekat meski sekuat apa pun ia meronta.”
Nenek tiba-tiba melinangkan air mata. Tangannya mencelupkan selembar kain ke dalam gelas berisi air perasan pucuk asam. Lalu ia angkat dan dikompreskan ke dahi kakek. Sedang ibu yang duduk di samping kakek terus mengaji. Sesekali meniup ubun-ubun kakek dengan serapal doa. Tak lama, setelah ruang kami hanya dilanda isak dan lantunan ayat suci, kakek kembali mengulangi kata-katanya; menyuruhku membuat lem perekat dari getah untuk menangkap burung cendet.
”Coba kau lepas burung-burung itu, Mid. Siapa tahu sakit kakekmu karena tulah burung itu,” pinta nenek kepadaku. Aku cemas hendak menjawab apa, mengingat burung-burung itu bernilai ratusan juta rupiah dan tentu saja kakek masih menyayanginya.
***
Sekitar sebulan sebelum kakek sakit, nenek sering mengomel. Nenek minta kami berhenti menangkap burung karena dari beberapa burung yang kami tangkap termasuk burung yang sudah langka di pulau kami.
”Burung kepodang, cendet, dan burung jalak sudah jarang kita lihat di ladang dan di jalan-jalan. Burung-burung itu kini sudah langka. Mestinya Aki tidak menangkapnya,” ucap nenek kesekian kalinya.
”Justru karena langka aku menangkapnya, karena harganya semakin mahal, Ni!” jawab kakek.
”Pikiranmu kok terbalik sih, Ki? Kalau langka mestinya jangan ditangkap, biar bisa berkembang biak, biar banyak lagi, biar keturunan kita bisa menikmati bunyinya sepanjang zaman.”
”Lho? Pikiranmu yang kebalik. Kelangkaan ini mestinya kita manfaatkan biar burung yang tinggal sedikit itu hanya jadi milik kita. Kita akan kaya raya nanti, hahaha.” jawab kakek sambil tertawa.
Aku hanya bisa mendengar perang mulut keduanya sambil terus mengaduk getah dari pelepah daun siwalan.
”Hai, Ki! Ingat ya! Menangkap burung langka itu membahayakan hidupmu, Ki?”
”Jika itu seekor indukan, kasihan anak-anaknya yang tak bisa makan dan pasti mati. Kamu yang dosa,” suara nenek lebih keras.
”Dan jika itu termasuk burung yang dilindungi. Kamu bisa dipenjara, Ki!” nenek berkacak pinggang. ”Apa pun yang terjadi, pokoknya burung-burung dengan kicau emasnya itu harus kutangkap,” ungkapnya.
”Mid! Sebaiknya kamu berhenti ikut kakekmu menangkap burung, biar tidak tertular dosanya,” pesan nenek.
”Jangan dengar apa kata nenekmu. Tidak akan terjadi apa-apa. Di lereng Hutan Rongkorong aku masih sempat melihat burung jalak dan burung cendet,” kata kakek.
Glosarium:
aki : biasa disingkat “Ki” adalah nama sebutan/panggilan untuk kakek.
benda : terap atau tekalong (Artocarpus elasticus) adalah sejenis pohon buah yang masih satu genus dengan nangka (Artocarpus). Buahnya mirip dengan buah timbul atau kulur, dengan tonjolan-tonjolan serupa duri lunak panjang dan pendek, agak melengket.
Nini : biasa disingkat “Ni” adalah sebutan/panggilan untuk nenek.
rapal : bacaan atau ucapan (biasanya untuk doa atau mantra khusus).
Rongkorong : salah satu bukit di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
tulah : kemalangan yang disebabkan oleh kutuk, karena perbuatan yang kurang baik terhadap orang tua (orang suci dan sebagainya), atau karena perbuatan melanggar larangan; kualat.
Tulisan diadaptasi dari cerpen A. Warits Rovi dengan judul yang sama. Tersaji dalam https://www.kompas.id/baca/cerpen-hiburan/2022/04/21/burung-burung-yang-menghilang-dari-kampung-kami yang dipublikasikan pada 22 April 2022 pukul 22:23 WIB
Menurut pendapatmu, mengapa ilustrasi yang disajikan sudah sesuai atau mendukung isi cerita?
Klik pada setiap pilihan jawaban benar! Jawaban benar lebih dari satu.
Komposisi ilustrasi pohon, manusia, dan burung yang dapat mewakili setiap karakter dalam cerita.
Di dalam gambar sudah terdapat unsur sosok Kakek, Aku, dan seekor burung sesuai isi dalam cerita.
Gambar mampu membawa pesan tentang upaya pelestarian burung sebagaimana tema yang mendasari isi cerita.
Gambar sudah dapat mendeskripsikan dengan baik tentang kondisi dan perilaku Kakek dalam cerita.
Ilustrasi disajikan dalam bentuk sketsa yang menarik dengan gradasi warna yang baik dan sesuai dengan isi cerita.
Similar Resources on Wayground
10 questions
TES SUMATIF 2 BAHASA INDONESIA KELS 7

Quiz
•
9th Grade
10 questions
Unsur Kebahasaan Puisi

Quiz
•
10th Grade
10 questions
PUISI

Quiz
•
11th Grade
10 questions
LATIHAN 2

Quiz
•
12th Grade
10 questions
BAHASA INDONESIA

Quiz
•
10th - 12th Grade
13 questions
Sudut Pandang

Quiz
•
12th Grade
10 questions
Majas P5

Quiz
•
5th - 10th Grade
10 questions
Unsur Pembangun Puisi

Quiz
•
9th - 12th Grade
Popular Resources on Wayground
55 questions
CHS Student Handbook 25-26

Quiz
•
9th Grade
10 questions
Afterschool Activities & Sports

Quiz
•
6th - 8th Grade
15 questions
PRIDE

Quiz
•
6th - 8th Grade
15 questions
Cool Tool:Chromebook

Quiz
•
6th - 8th Grade
10 questions
Lab Safety Procedures and Guidelines

Interactive video
•
6th - 10th Grade
10 questions
Nouns, nouns, nouns

Quiz
•
3rd Grade
20 questions
Bullying

Quiz
•
7th Grade
18 questions
7SS - 30a - Budgeting

Quiz
•
6th - 8th Grade
Discover more resources for World Languages
21 questions
Spanish speaking countries and capitals

Quiz
•
9th Grade
15 questions
Gabriel es... ¿un gato?

Interactive video
•
10th Grade
21 questions
Los paises hispanohablantes y sus capitales

Quiz
•
12th Grade
20 questions
Spanish alphabet

Quiz
•
9th - 12th Grade
30 questions
ECS Advisory Talking Points

Quiz
•
9th Grade
8 questions
El alfabeto repaso

Lesson
•
6th - 9th Grade
30 questions
Los numeros 1-100

Quiz
•
9th Grade
23 questions
Spanish 1 Review: Para Empezar Part 1

Lesson
•
9th - 12th Grade