Gandari
oleh Goenawan Mohamad
Rekaman lima hari sebelum ibu para Kurawa itu
membalut matanya dengan sehelai kain hitam,
mendampingi suaminya, raja buta itu, sampai kelak, beberapa detik sebelum ajal.
Ia yang tak ingin lagi melihat dunia,
Sore itu menengok ke luar jendela
Buat terakhir kalinya:
Sebuah parit merayap
ke arah danau. Dua ekor tikus mati,
hanyut. Sebilah papan pecah mengapung.
Sebatang ranting tua mengapung.
Di permukaan telaga, di utara, dua orang
mengayuh jukung yang tipis, dengan
dayung yang putus asa.
Ombak seakan-akan mati. Air menahan mereka.
‘Mereka lari dari koloni kusta’, kata Gandari dalam hati, ‘dan mereka lihat
warna hitam
yang berhimpun di atas bukit.’
Magrib, sebenarnya mendung, seakan mendekat.
Air naik deras ke langit: sebuah pusaran
sebelum hujan datang, lebat, menghantam danau.
Dan angkasa gemetar
Ketika tubuh angin mengubah diri
ke dalam puting beliung
***
Kemudian malam. Malam yang sesungguhnya:
pada halaman langit bintang membentuk asteris,
yang merujuk ke nama yang tak ada;
juga nama seorang dewa yang susut
*
Dan guruh berkejaran dengan hujan
sepanjang trowongan langit
yang merendah.
Bumi rabun.
Dan gerimis,
seperti silabel yang lebat,
berdegup, bergegas, berdegup, dari pinggir galaksi,
membentuk tanda–atau sesuatu yang seperti tanda.
Tapi perempuan itu tak memberinya arti.
*
…
(Dikutip dari buku Gandari oleh Goenawan Mohamad)
Kutipan puisi tersebut menceritakan ... .