perhatikan kutipan teks cerpen berikut
Lelaki itu tak pernah bercerita pada anaknya, mengenai kematian yang akan menjemputnya di bulan Ramadan ini. Tahu-tahu, lelaki itu pulang dari pasar tepat ketika mentari beranjak naik di atas kepala, dan menjinjing kain kafan yang dibungkus plastik putih. Berjalan sempoyongan dilanda haus, lelaki itu menyandarkan sepeda di teras lalu memasuki rumah dengan langkah terhuyung hampir jatuh. Di ruang tengah, dia mengempaskan tubuh seraya menaruh plastik putih berisi kain kafan di atas meja.
Mahmud, anak keduanya, keluar dari kamar, menguap seraya mendapati ayahnya yang terlentang di kursi panjang melepas lelah. Tubuh ayahnya gemetar, seluruh mukanya merona merah sebab dibakar terik mentari.
“Ayah dari mana? Selepas subuh sudah mengeluarkan sepeda dan pulang seperti orang dikejar hantu?”
“Dari pasar . . . ”
“Untuk apa Ayah harus pergi ke pasar pagi-pagi sekali?”
“Beli kain untuk baju . . . ”
Mahmud melirik bungkusan plastik di atas meja, membukanya lantas membentangkan kain kafan dalam bungkusan itu. “Mana mungkin Ayah akan membuat baju lebaran dari kain seperti ini?”
“Siapa bilang kain kafan itu untuk baju lebaran ayah? Itu baju kematian ayah. Mungkin, di bulan Ramadan ini ayahmu akan dipanggil oleh Tuhan.”
Mahmud tersentak. “Ayah jangan bercanda dengan Tuhan. Ayah masih sehat dan kuat mengayuh sepeda sampai ke pasar . . . jangan berpikir aneh-aneh!”
Lelaki itu diam dan Mahmud melangkah ke kamar mandi.
(Dikutip dari: https://lakonhidup.wordpress.com/2012/08/13/tidak-ada-seribu-kunang-kunang-di-langit/, diunduh 27 Agustus 2015)
Peristiwa dalam kutipan cerpen tersebut terjadi di ...