Sedangkan Maura sudah mulai berburu menjelajahi toko-toko bermerk untuk membeli pashmina dengan motif yang disukai maminya. Hanya aku yang tak mempersiapkan apa-apa untuk Biyungku.
“Kok Biyung, sih?” Tanya Maura dengan mimik lucu. “ Kenapa gak panggil mama, mami, atau ibu lah yang paling umum?” Ujarnya lagi. Aku hanya tersenyum.
“Orang Jawa zaman dulu memang kebanyakan memanggil ibu mereka dengan sebutan ‘Biyung’ sama saja, kok, artinya dengan mami, mother, mom, dan yang lainnya,” jelasku sambil tersenyum. Terlihat lirikan mata Yesha dengan senyuman yang membiasakan ejekan. Aku tak peduli. Biyungku memang tak sebanding dengan mami dan mom-nya Maura dan Yesha yang memiliki gelar sarjana bahkan hingga Phd.
Biyungku hanya seorang penjual tempe mendoan. Tapi sehari saja ia libur berjualan, seluruh desa akan merasa kehilangan pada racikan bumbu tempenya yang tiada duanya.
Latar tempat pada kutipan teks cerpen di atas adalah ...