kisah seorang sufi besar abad ketiga hijriah, Syekh Abu Abdirrahman Hatim bin ‘Unwan al-Asham (237 H). Suatu hari, ia pernah ditanya oleh ‘Isham bin Yusuf tentang bagaimana ia melakukan shalat.
Hatim al-Asham menjawab: Ketika masuk waktu shalat, aku bangkit dari tempatku, kemudian aku mengambil wudlu lahiriah dan wudlu batiniah. Lalu, ‘Isham bertanya lebih lanjut: Bagaimanakah wudlu batiniah itu? Hatim al-Asham dengan mantap menjawab: "Wudlu lahiriah yaitu membasuh anggota wudlu dengan air. Adapun wudlu batiniah adalah membasuh tujuh anggota wudlu tersebut dengan tujuh perkara; tobat, penyesalan atas dosa masa lalu, meninggalkan ketergantungan (ta’alluq) dengan dunia, tak mengacuhkan pujian sekalian makhluk, tidak terikat dengan sesuatu apa pun, membuang kedengkian, dan membuang hasad," rincinya.
Kemudian ia pun melakukan shalat batiniah. Saat menghadap kiblat, Imam al-Asham memandang dirinya sebagai sang hamba yang selalu bergantung pada Tuhannya. Ia seakan sedang benar-benar di hadapan keagungan Allah SWT, surga seolah berada di samping kanannya, neraka di bagian kirinya, malaikat sang pencabut nyawa, Izrail alaihissalam tepat di belakangnya. Dan, saat itu, ia merasa kedua kakinya berjalan di atas titian shirath. Setelah itu, barulah ia bertakbir seraya memasang niat, membaca Fatihah dan surat dengan perenungan yang dalam.
Rukuk dan sujudnya serasa berada dalam liang kerendahan dan kehinaan. Bertasyahud dengan luapan harapan, dan membaca salam dengan penuh keikhlasan.
Hatim al-Asham mengatakan: "Aku sudah mengerjakan shalat seperti ini selama 30 tahun," tutupnya kepada ‘Isham. Lalu, ia menimpali: "Hanya engkaulah yang mampu mengerjakan shalat seperti itu," pungkasnya sambil menangis.
Bagaimana Ruku' dan Sujudnya Hatim al-Asham?