PAKET SEMBAKO
Karya Untung Subagyo
Jarum pendek jam belogo BRI yang terpasang di ruang tamu menunjukkan angka 7, sementara jarum satunya di angka 6. Belum malam, meski di luar langit sudah terlihat cukup gelap. Mungkin karena gerimis yang membasahi Kota Muntilan sejak siang tadi membuat malam menjadi lebih pekat. Biasanya jam segini Pak Miranto sudah nongkrong di depan Swalayan Makmur di Jalan Pemuda. Tentu tidak sendiri, ia ditemani sepeda motor yang sudah 1 tahun ini tak pernah jauh darinya. Jika lagi ramai dan beruntung, sampai jam 9 masih bisa narik dua sampai tiga penumpang. Lumayan, meski penghasilan dari pekerjaan ini jauh lebih kecil dari sewaktu masih kerja di kantoran, Pak Ranto tetap mensyukuri berapa oun rezeki yang dibawa pulang.
Sore ini, Pak Ranto pulang lebih sore dari biasanya. Bukan karena cuaca yang kurang bersahabat, tetapi karena istrinya tiba-tiba telepon dan minta diantarkan ke kantor kelurahan. Dia tidak bilang apa keperluannya, katanya nanti mau diceritakan kalau sudah sampai rumah.
“Ke kelurahan ngapain, sih, Bu, malam-malam begini? Apa nggak bisa ditunda besok saja? Lagi pula, di luar juga masih gerimis.”
“Tadi adikmu, Lukito, baru saja ke sini. Dia menyuruh kita ke kelurahan untuk ambil paket sembako bansos virus korona. Cuma dia pesan, ngambilnya kalo sudah malam saja,” jawab istrinya dengan nada riang.
“Paket Sembako? Bansos? Malam? Nggak salah, Bu?” tanya Pak Ranto seraya menatap tajam istrinya yang tengah merapikan sweter yang sedang dikenakannya.
“Loh, apanya yang salah?” tanya istrinya sambil berjalan mendekati suaminya, “Apa Bapak merasa kita ini sudah kaya sehingga menolak bantuan? Kalau begitu, lah kenapa Bapak masih bela-belain tiap hari narik ojek? Atau … jangan-jangan karena karena Bapak nggak mau ngantar. Ya sudah, saya minta antar si Jalu saja kalau Bapak tidak mau…”
“Bukan begitu maksudku, Bu,” kata Pak Ranto sambil menarik lengan istrinya untuk duduk di sebelahnya.
“Dengerin baik-baik, ya. Bapak tidak merasa sudah kaya, tapi juga tidak merasa sudah jatuh miskin. Bapak juga tidak akan merasa malu kalau memang sekiranya sudah perlu dibantu,” kata Pak Ranto sambil menyeruput teh yang dihidangkan istrinya.
“Tapi, untuk saat ini, Bapak masih merasa malu untuk menerima, meski itu datangnya dari pemerintah yang adalah uang-uang kita juga. Dengan sedikit tabungan pesangon, hasil ngojek, ditambah sedikit uang pensiun, paket sembako itu Bapak rasa lebih pantas diterima orang lain yang benar-benar sudah tak berdaya akibat pandemi ini. Apalagi, ngambilnya suruh malam-malam. Jangan-jangan karena kita saudaranya, terus sama Lukito nama kita didaftarkan. Kalau begitu, ini kan juga tidak benar. Kalau ada warga yang tahu ini, bisa-bisa dia nanti didemo dan suruh ngelepasin jabatan ketua RW-nya,” jelas Pak Miranto. Setiap kata dia ucapkan dengan nada lembut tetapi tegas agar istrinya mengerti. Istrinya pun terdiam lalu berdiri.
“Ibu tetap mau pergi?”
“Nggak, mau ganti baju,”ujarnya sambil berlalu.
Berdasarkan teks di atas, berilah tanda centang (P) pada pernyataan yang benar (jawaban bisa lebih dari satu)
Tentukan pernyataan yang termasuk alasan utama Pak Miranto tidak bersedia mengantarkan istrinya pergi ke kelurahan.