Moksa
Setelah mencangkul seharian, rasanya tidak ada lagi yang bisa dilakukan Satya. Untuk pertama kalinya tiba-tiba la merasa puas. Sudah lama perasaan seperti itu tidak dialaminya. Setidaknya perlu satu tahun setelah bencana Persembahan Kuda itu berlalu, ia mulai bisa merasakan sesuatu yang berhubungan dengan rasa senang. Sebelumnya dunia selalu terasa muram, berat, dan menekan. Sampai sekarang masih terasa olehnya luka ibarat sembilu menyilang, karena seluruh keluarga, kerabat, dan handai taulan, lenyap musnah hilang dalam pembantaian desanya oleh bala tentara Ayodya. Betapa memilukan kehilangan orang-orang tercinta dalam seketika karena pembunuhan.
Satya melihat kambing-kambingnya sedang merumput. la tersenyum riang. Bersama kawan-kawan sebayanya mereka berusaha melupakan kesedihan. . Mereka dirikan kembali pemukiman yang telah rata dengan tanah, menjadi sesuatu mirip kehidupan. Satya tidak pernah menduga bahwa ia kini harus membangun semuanya seperti nenek moyangnya. “Beginilah leluhur kami melakukannya dahulu!” pikirnya.
Tiada waktu berduka bagi Satya. Mereka membuka kembali ladang, mendirikan rumah-rumah panggung, bahkan membangun pesanggrahan. Pemukiman mereka sunyi, terpencil, dahulu banyak orang datang mencari ketenangan. Di puncak bukit mereka bangun sebuah pertapaan yang terlindung rimbun pepohonan. Orangorang Sadhu, para pengembara suci, sering berhenti di sana untuk mengolah kebatinan.
Bila malam tiba pada bulan Kartika, banyak orang . datang memuji keindahan. Para penyair datang dengan tanah dan karas, setelah mendatangi sekian banyak pantai dan pegunungan, di sini mereka menyerahkan diri kepada rembulan. Satya suka kepada pandangan mata para pemuja keindahan, tua muda, laki perempuan, , mata mereka berkilat-kilat menatap berkas cahaya yang merambati udara di tengah malam.
(Sumber: Kitab Omong Kosong, Seno Gumira Ajidarma)
Istilah karas yang terdapat dalam bacaan tersebut berarti ,...