LITERASI_CERPEN_SEMANGAT DONG

LITERASI_CERPEN_SEMANGAT DONG

Assessment

Quiz

Other

11th Grade

Hard

Created by

Reni Siregar

Used 4+ times

FREE Resource

Student preview

quiz-placeholder

5 questions

Show all answers

1.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

1 min • 5 pts

Sukri Penjaga Bengawan

Syahdan, Sukri kecil hilang dan lenyap ditelan bengawan saat terpeleset dari jembatan. Ibunya yang mengajak pergi pengajian saat itu tak tahu lagi bagaimana nasib anaknya yang terbawa arus bengawan. Penuh kegelisahan, ibunya balik pulang sambil teriak ke seluruh sudut kampung. “Tolong...”

“Tolong...”

“Tolong...”

Tak perlu banyak waktu, warga kampung yang mendengar teriakannya pun langsung berlari mendatanginya. Dengan gagap, napas yang naik turun tak teratur, ibunya mencoba memberitahu orang kampung. Sambil menunjuk-nunjuk ke arah jembatan yang membelah bengawan,
kesadarannya hilang. Ibunya pingsan. Beberapa anak mengatakan bahwa Sukri tadi menyeberang jembatan bersama ibunya. Anak-anak itu dijaili Sukri saat berpapasan tadi, dan sempat jengkel karenanya. Orang-orang kampung pun akhirnya berhasil memaknai isyarat ibu Sukri. Adalah, Sukri tenggelam terbawa arus bengawan. Secepat kilat, para laki-laki muda, tua, bahkan ibu-ibu pun menghamburkan diri menuju tepi bengawan. Hanya menyisakan Mbok Mi yang meneteskan air mata sambil memangku ibu Sukri, yang masih dalam ketaksadarannya itu. Mbok Mi pun semakin tak kuat menahan keharuannya saat ibu Sukri memanggil-manggil nama anak kesayangannya itu. Satu-satunya anak laki-laki yang ia dambakan seusai menikah dengan Salim selama dua puluh tahun lalu. Kini hanyut diseret arus bengawan.

Kakak-kakak perempuan Sukri saat peristiwa itu, semuanya telah merantau ke berbagai pondok pesantren yang tersebar di Nusantara. Memang itulah nazar dari ibunya, jika Sukri lahir, seluruh kakaknya akan dikirim ke pondok pesantren untuk mengaji. Sementara itu, ibunya akan merawat Sukri kecil dengan perhatian penuh. Seperti putra mahkota sang sultan, yang akan menjadi pemimpin bagi banyak orang nantinya. Semua orang kampung yang ikut lari menuju tepi bengawan tampak ketakutan. Air bengawan yang tadinya hanya mengalir tenang, tiba-tiba mengalir deras dan warnanya berubah hitam pekat. Beberapa gelondong kayu yang tampak terbakar sebagian sisinya, ikut hanyut. Sisa-sisa penebangan liar dan juga kebakaran hutan tempo hari luluh lantak diseret air.  Seperti yang terlihat saat itu, langit meredup tiba-tiba. Titiktitik air jatuh dari langit silih berganti. Tak peduli jemuran padi milik orang-orang kampung masih terhampar di halaman rumah. Air hujan itu berubah jadi badai. 

 

Tokoh utama dari potongan cerpen di atas adalah….

            

Syahdan

           

Sukri

            

Mbok Mi

           

Ibu Sukri

           

  Kakak Sukri

2.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

1 min • 5 pts

Bidadari di Ujung Pelangi

Nunu kecil bersorak gembira ketika hari yang panas berganti menjadi hujan. Awan tak mampu mengalahkan sinar sang mentari meski ia telah keberatan membawa beban hujan. Anak-anak berlarian keluar rumah. Mereka mendongak menatap langit di teras rumah dengan muka berseri-seri.

“Hujan panas, hujan panas”, seru salah seorang dari mereka.

“Sebentar lagi akan ada pelangi”, Nunu ikut berseru.

Hujan singkat saja, ia datang dan mereda tiba-tiba. Anak-anak yang semula ada di teras kini berlarian ke halaman rumah sembari memandangi langit siang itu. Mereka berharap ada pelangi. Pelangi yang melengkung indah berwarna-warni. Seperti yang anak-anak tahu, pelangi akan muncul setelah datangnya hujan panas. Entah siapa yang awalnya memberi tahu mereka, tapi setiap hujan panas mereka pasti selalu menantikan melihat eloknya pelangi, meski pelangi itu sendiri tak selalu nampak.

Pada kutipan cerpen di atas, kalimat yang menunjukkan latar tempat yaitu…

                  

Pelangi yang melengkung berwarna-warni

   

Seperti yang anak-anak tahu, pelangi akan muncul setelah datangnya hujan deras

              

Mereka mendongak menatap langit di teras rumah dengan muka berseri-seri

Awan tak mampu mengalahkan sinar sang mentari meski ia telah keberatan membawa beban hujan

              

“Sebentar lagi aka nada pelangi, “ Nunu ikut berseru.

3.

MULTIPLE SELECT QUESTION

2 mins • 5 pts

Piknik

Karya Agus Noor

Para pelancong mengunjungi kota kami untuk menyaksikan kepedihan. Mereka datang untuk menonton kota kami yang hancur. Kemunculan para pelancong itu membuat kesibukan tersendiri di kota kami. Biasanya kami duduk-duduk di gerbang kota menandangi para pelancong yang selalu muncul berombongan mengendarai kuda, keledai, unta, atau permadani terbang dan juga kuda sembrani. Mereka datang dari segala penjuru dunia. Dari negeri-negeri jauh yang gemerlapan.

Di bawah langit senja yang kemerahan kedatangan mereka selalu terlihat bagaikan siluet iring-iringan kafilah melintasi gurun perbatasan, membawa bermacam perbekalan piknik. Berkarung-karung gandum yang diangkut gerobak pedati, daging asap yang digantungkan di punuk unta terlihat bergoyang-goyang, roti kering yang disimpan dalam kaleng, botol-botol cuka dan saus, biskuit dan telor asin, rendang dalam rantang juga berdus-dus mi instan yang kadang mereka bagikan pada kami.

Penampilan para pelancong yang selalu riang membuat kami sedikit merasa terhibur. Kami menduga, para pelancong itu sepertinya telah bosan dengan hidup mereka yang sudah terlampau bahagia. Hidup yang selalu dipenuhi kebahagiaan ternyata bisa membosankan juga. Mungkin para pelancong itu tak tahu lagi bagaimana caranya menikmati hidup yang nyaman tenteram tanpa kecemasan di tempat asal mereka. Karena itulah mereka ramai-ramai piknik ke kota kami: menyaksikan bagaimana perlahan-lahan kota kami menjadi debu. Kami menyukai cara mereka tertawa, saat mereka begitu gembira membangun tenda-tenda dan mengeluarkan perbekalan, lalu berfoto ramai-ramai di antara reruntuhan puing-puing kota kami.

  Kami seperti menyaksikan rombongan sirkus yang datang untuk menghibur kami.

Kadang mereka mengajak kami berfoto. Dan kami harus tampak menyedihkan dalam foto-foto mereka. Karena memang untuk itulah mereka mengajak kami berfoto bersama. Mereka tak suka bila kami terlihat tak menderita. Mereka menyukai wajah kami yang keruh dengan kesedihan. Mata kami yang murung dan sayu. Sementara mereka—sembari berdiri dengan latar belakang puing-puing reruntuhan kota—berpose penuh gaya tersenyum saling peluk atau merentangkan tangan lebar-lebar. Mereka segera mencetak foto-foto itu, dan mengirimkannya dengan merpati-merpati pos ke alamat kerabat mereka yang belum sempat mengunjungi kota kami.

Belakangan kami pun tahu, kalau foto-foto itu kemudian dibuat kartu pos dan diperjualbelikan hingga ke negeri-negeri dongeng terjauh yang ada di balik pelangi. Pada kartu pos yang dikirimkannya itu, para pelancong yang sudah mengunjungi kota kami selalu menuliskan kalimat-kalimat penuh ketakjuban yang menyatakan betapa terpesonanya mereka saat menyaksikan kota kami perlahan-lahan runtuh dan lenyap. Mereka begitu gembira ketika melihat tanah yang tiba-tiba bergetar. Bagai ada naga menggeliat di ceruk bumi—atau seperti ketika kau merasakan kereta bawah tanah melintas menggemuruh di bawah kakimu. Betapa menggetarkan melihat pohon- pohon bertumbangan dan rumah-rumah rubuh menjadi abu. Membuat hidup para pelancong yang selalu bahagia itu menjadi lengkap, karena bisa menyaksikan segala sesuatu sirna begitu saja.

Mengapa  menurutmu para pelancong mengunjungi kota yang hancur itu?

Jawaban lebih dari satu!

Untuk menyaksikan kepedihan

Untuk membangun kota yang hancur

Menyukai wajah orang-orang dengan kesedihan

Untuk membantu orang-orang yang kesusahan

Untuk  menonton kota yang hancur

4.

MULTIPLE SELECT QUESTION

2 mins • 5 pts

Piknik

Karya Agus Noor

Para pelancong mengunjungi kota kami untuk menyaksikan kepedihan. Mereka datang untuk menonton kota kami yang hancur. Kemunculan para pelancong itu membuat kesibukan tersendiri di kota kami. Biasanya kami duduk-duduk di gerbang kota menandangi para pelancong yang selalu muncul berombongan mengendarai kuda, keledai, unta, atau permadani terbang dan juga kuda sembrani. Mereka datang dari segala penjuru dunia. Dari negeri-negeri jauh yang gemerlapan.

Di bawah langit senja yang kemerahan kedatangan mereka selalu terlihat bagaikan siluet iring-iringan kafilah melintasi gurun perbatasan, membawa bermacam perbekalan piknik. Berkarung-karung gandum yang diangkut gerobak pedati, daging asap yang digantungkan di punuk unta terlihat bergoyang-goyang, roti kering yang disimpan dalam kaleng, botol-botol cuka dan saus, biskuit dan telor asin, rendang dalam rantang juga berdus-dus mi instan yang kadang mereka bagikan pada kami.

Penampilan para pelancong yang selalu riang membuat kami sedikit merasa terhibur. Kami menduga, para pelancong itu sepertinya telah bosan dengan hidup mereka yang sudah terlampau bahagia. Hidup yang selalu dipenuhi kebahagiaan ternyata bisa membosankan juga. Mungkin para pelancong itu tak tahu lagi bagaimana caranya menikmati hidup yang nyaman tenteram tanpa kecemasan di tempat asal mereka. Karena itulah mereka ramai-ramai piknik ke kota kami: menyaksikan bagaimana perlahan-lahan kota kami menjadi debu. Kami menyukai cara mereka tertawa, saat mereka begitu gembira membangun tenda-tenda dan mengeluarkan perbekalan, lalu berfoto ramai-ramai di antara reruntuhan puing-puing kota kami.

 

  Kami seperti menyaksikan rombongan sirkus yang datang untuk menghibur kami.

 

Kadang mereka mengajak kami berfoto. Dan kami harus tampak menyedihkan dalam foto-foto mereka. Karena memang untuk itulah mereka mengajak kami berfoto bersama. Mereka tak suka bila kami terlihat tak menderita. Mereka menyukai wajah kami yang keruh dengan kesedihan. Mata kami yang murung dan sayu. Sementara mereka—sembari berdiri dengan latar belakang puing-puing reruntuhan kota—berpose penuh gaya tersenyum saling peluk atau merentangkan tangan lebar-lebar. Mereka segera mencetak foto-foto itu, dan mengirimkannya dengan merpati-merpati pos ke alamat kerabat mereka yang belum sempat mengunjungi kota kami.

Belakangan kami pun tahu, kalau foto-foto itu kemudian dibuat kartu pos dan diperjualbelikan hingga ke negeri-negeri dongeng terjauh yang ada di balik pelangi. Pada kartu pos yang dikirimkannya itu, para pelancong yang sudah mengunjungi kota kami selalu menuliskan kalimat-kalimat penuh ketakjuban yang menyatakan betapa terpesonanya mereka saat menyaksikan kota kami perlahan-lahan runtuh dan lenyap. Mereka begitu gembira ketika melihat tanah yang tiba-tiba bergetar. Bagai ada naga menggeliat di ceruk bumi—atau seperti ketika kau merasakan kereta bawah tanah melintas menggemuruh di bawah kakimu. Betapa menggetarkan melihat pohon- pohon bertumbangan dan rumah-rumah rubuh menjadi abu. Membuat hidup para pelancong yang selalu bahagia itu menjadi lengkap, karena bisa menyaksikan segala sesuatu sirna begitu saja.

Permasalahan apakah yang terdapat dalam cerpen “Piknik” tersebut adalah?

Jawaban lebih dari satu

Memperlihatkan tragedi menjadi pariwisata bencana

Membantu orang-orang dengan hati yang iklas

Menyindir perilaku masyarakat yang tidak memiliki hati nurani

Menolong masyarakat yang tertimpa bencana

      

Mengingatkan  kesadaran masyarakat terhadap penderitaan orang lain yang terkena bencana.

5.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

1 min • 1 pt

Sukri Penjaga Bengawan

Syahdan, Sukri kecil hilang dan lenyap ditelan bengawan saat terpeleset dari jembatan. Ibunya yang mengajak pergi pengajian saat itu tak tahu lagi bagaimana nasib anaknya yang terbawa arus bengawan. Penuh kegelisahan, ibunya balik pulang sambil teriak ke seluruh sudut kampung. “Tolong...”

“Tolong...”

“Tolong...”

Tak perlu banyak waktu, warga kampung yang mendengar teriakannya pun langsung berlari mendatanginya. Dengan gagap, napas yang naik turun tak teratur, ibunya mencoba memberitahu orang kampung. Sambil menunjuk-nunjuk ke arah jembatan yang membelah bengawan,
kesadarannya hilang. Ibunya pingsan. Beberapa anak mengatakan bahwa Sukri tadi menyeberang jembatan bersama ibunya. Anak-anak itu dijaili Sukri saat berpapasan tadi, dan sempat jengkel karenanya. Orang-orang kampung pun akhirnya berhasil memaknai isyarat ibu Sukri. Adalah, Sukri tenggelam terbawa arus bengawan. Secepat kilat, para laki-laki muda, tua, bahkan ibu-ibu pun menghamburkan diri menuju tepi bengawan. Hanya menyisakan Mbok Mi yang meneteskan air mata sambil memangku ibu Sukri, yang masih dalam ketaksadarannya itu. Mbok Mi pun semakin tak kuat menahan keharuannya saat ibu Sukri memanggil-manggil nama anak kesayangannya itu. Satu-satunya anak laki-laki yang ia dambakan seusai menikah dengan Salim selama dua puluh tahun lalu. Kini hanyut diseret arus bengawan.

Kakak-kakak perempuan Sukri saat peristiwa itu, semuanya telah merantau ke berbagai pondok pesantren yang tersebar di Nusantara. Memang itulah nazar dari ibunya, jika Sukri lahir, seluruh kakaknya akan dikirim ke pondok pesantren untuk mengaji. Sementara itu, ibunya akan merawat Sukri kecil dengan perhatian penuh. Seperti putra mahkota sang sultan, yang akan menjadi pemimpin bagi banyak orang nantinya. Semua orang kampung yang ikut lari menuju tepi bengawan tampak ketakutan. Air bengawan yang tadinya hanya mengalir tenang, tiba-tiba mengalir deras dan warnanya berubah hitam pekat. Beberapa gelondong kayu yang tampak terbakar sebagian sisinya, ikut hanyut. Sisa-sisa penebangan liar dan juga kebakaran hutan tempo hari luluh lantak diseret air.  Seperti yang terlihat saat itu, langit meredup tiba-tiba. Titiktitik air jatuh dari langit silih berganti. Tak peduli jemuran padi milik orang-orang kampung masih terhampar di halaman rumah. Air hujan itu berubah jadi badai. 

Latar tempat cerpen tersebut adalah….

tepi bengawan

          

rumah sukri

           

hutan

           

istana kerajaan

           

pinggir pantai