Bacalah teks berikut dengan cermat! Hana melangkahkan kakinya dengan gelisah. Dia menendang-nendang kerikil yang ia temui sepanjang jalan. Raut mukanya tampak cemas. Ini adalah hari pertamanya masuk sekolah baru di Indonesia. Keluarganya baru saja pindah dari Kyoto, Jepang, tempat ayahnya menyelesaikan pendidikan doktor
Sesampai di halaman sekolah yang rindang, Pak Rizal, ayahnya, menawari Hana untuk ikut menemaninya masuk ke kelas. Namun, Hana menolak. Meski khawatir, dia merasa malu kalau harus ditemani orang tuanya. Di Kyoto, dia bahkan sudah berangkat dan pulang sekolah sendiri sejak kelas 1 SD. “Hana, kamu anak pemberani. Jangan khawatir, anak-anak Indonesia ramahramah. Mereka pasti akan senang punya teman baru,” kata ayahnya. Hana mengangguk. “Nanti Ayah akan datang lagi menjemputmu ya. Ayah perlu pergi dulu ke tukang cukur, rambut ayah sudah gondrong begini,” tambah ayahnya lagi sambil menepuk pundak Hana. Jarak rumah Hana dengan SDN Gaharu hanya lima ratus meter, sehingga dia bisa berjalan kaki ke sekolah. Begitu masuk melewati gerbang sekolah, bel berdentang. Semua siswa berlarian masuk ke kelas masing-masing. Hana mencari kelas dengan lambang VI di atas pintu. Begitu Hana masuk, Bu Pertiwi, guru kelas enam, menyambutnya dengan senyuman lebar. “Ah, kamu pasti Hana. Ayo masuk. Ibu carikan tempat duduk dulu untuk meletakkan tasmu, lalu berkenalan dengan teman-teman sekelasmu.” Hana mengangguk malu-malu. Dia merasa seluruh pasang mata di kelas ini sedang menatapnya. Dia mendengar bisik-bisik meski tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Dada Hana berdegup semakin kencang. Bu Pertiwi menyilakan Hana untuk berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. “Selamat pagi teman-teman…” katanya mengawali perkenalan. Kemarin, Hana sudah berlatih di depan cermin agar dia tidak canggung mengucapkan kata-kata perkenalan dalam bahasa Indonesia. “Tolong suaranya lebih keras lagi, biar semuanya bisa mendengar,” kata Bu Pertiwi. “Nama saya Hana. Saya berusia dua belas tahun. Saya pindah dari Kyoto, Jepang. Ayah saya baru menamatkan kuliahnya di sana. Kami pindah ke kota ini karena ayah saya akan bekerja di sini. Saya senang berkenalan dengan teman-teman semua. Arigato. Eh, terima kasih.” Hana mengakhiri perkenalannya dengan menjura, membungkukkan badannya. Ketika kembali berdiri tegak, ia melihat senyum terkembang dari teman-teman sekelasnya. Hana lega, kecemasannya berkurang. “Terima kasih Hana. Ada yang ingin kalian tanyakan pada Hana?” ujar Bu Pertiwi.
Seorang anak laki-laki mengacungkan tangan. “Kamu asalnya dari mana? Oh ya, namaku Arjuna, biasa dipanggil Juna.” Teman-teman yang lain bersorak, “Huuu…” Sepertinya Juna memang anak yang suka mencari perhatian. Hana bingung, bagaimana harus menjawab pertanyaan Juna. Di Jepang, dia dengan mudah menjawab bahwa dia berasal dari Indonesia. Tapi di Indonesia, dia harus menjawab apa? “Saya berasal dari Indonesia…” kata Hana pelan dan ragu. Teman-teman tertawa. Bu Pertiwi menengahi, “Mungkin maksud Arjuna, Hana lahir di mana?” “Oh… saya lahir di Makassar.” “Berarti kamu asli Makassar,” sahut Juna dari bangku paling belakang. “Tapi… ayah saya berasal dari Padang dan ibu saya berasal dari Sunda,” tambah Hana, menyanggah ucapan Juna itu. Bu Pertiwi angkat bicara, “Sekarang ini memang susah kalau ditanya asalnya atau aslinya dari mana, karena manusia semakin terhubung dan juga berpindahpindah. Seperti Hana, misalnya, yang punya orang tua dari daerah dan suku yang berbeda. Yang jelas, Hana adalah anak Indonesia. Betul kan, Hana?” Hana mengangguk. “Jadi, apa yang membuat kalian mengaku sebagai anak Indonesia?” tanya Bu Pertiwi ke seluruh kelas. “Karena kita lahir di Indonesia,” jawab Salim sambil mengacungkan tangannya. “Tapi ... adikku, Naomi, lahir di Kyoto dan dia tetap anak Indonesia,” sanggah Hana, yang mulai berani menyampaikan pendapatnya.
“Hana benar. Aku lahir di Berlin. Orang tuaku Jawa. Aku tetap anak Indonesia,” sahut Agni, gadis berkacamata yang duduk paling depan. “Kalian sama-sama benar. Anak Indonesia adalah anak-anak yang lahir atau tinggal di Indonesia, atau anak-anak yang ayah ibunya atau salah satu orang tuanya orang Indonesia. Apalagi yang membuat kita Indonesia?” lanjut Bu Pertiwi. “Karena kita bisa berbahasa Indonesia, Bu,” kata Melodi dengan nada bicara yang lembut. Hati Hana menciut. Dia merasa belum mahir benar berbahasa Indonesia. Di sekolah lamanya, bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Jepang dan bahasa Inggris. Rupanya Bu Pertiwi melihat perubahan raut wajah Hana. Dia meminta Hana menjelaskan apa yang menjadi kekhawatirannya. Setelah mendengar curahan hati Hana, Bu Pertiwi berusaha membesarkan hatinya. “Jangan khawatir. Dulu Agni ketika pindah ke kelas dua juga belum lancar berbahasa Indonesia. Tapi, bapak ibu guru dan semua teman ikut membantu. Sekarang, Agni sudah mahir berbahasa Indonesia dan bahkan buku kumpulan cerpennya baru saja terbit.” Agni tampak tersipu. “Jangan khawatir, Hana. Nanti aku juga bisa ajari kamu bahasa Jawa,” timpal Juna. Seketika teriakan “huuu ... ” kembali bergema. Tiba-tiba Salim berteriak sambil menunjuk ke jendela. “Hantuuu!” Semua mata menoleh ke arah yang ditunjuk Salim. Hana melihat ada kepala botak yang muncul dan tenggelam dari balik jendela yang kusennya dipasang tinggi, khas arsitektur.
gedung peninggalan Belanda. Bu Pertiwi melangkah menuju pintu untuk melihat siapa yang ada di luar. Tidak mungkin ada hantu di siang bolong. Anak-anak ribut sambil menunjuk-nunjuk ke arah jendela. Ternyata itu adalah Pak Rizal, ayah Hana, yang rambutnya sudah habis tercukur. “Maaf, Bu Pertiwi, saya mau menyusulkan oleh-oleh dari Jepang untuk temanteman Hana. Tadi tidak sempat terbawa Hana karena dia terburu-buru,” Pak Rizal berkata dari jendela. Hana baru sadar bahwa dia melupakan cendera mata yang sudah dia siapkan untuk teman-teman barunya. Kelas kembali riuh. Hana mengedarkan kantungkantung berisi permen Wagashi dan sisir Tsuge, buah tangan khas dari Tokyo. Hatinya menghangat karena teman-teman barunya memang ramah dan senang hati menerimanya sebagai penghuni kelas yang baru. Hana menyalami temannya satu per satu dan mencoba menghafalkan nama-nama mereka. Sampai di ujung kelas, siswa yang terakhir dia salami berkata, “Jangan sampai lupa, namaku Juna.”
Siapakah tokoh utama dalam cerita?