Kawasan Halimun boleh dibilang merupakan kawasan yang tidak jelas orientasi pengelolaannya, ibarat mata uang yang memiliki dua sisi. Di satu sisi merupakan kawasan yang dikelola untuk tujuan konservasi, di sisi lain menjadi kawasan eksploitasi. Tabel berikut ini secara umum menunjukkan tumpang tindih kawasan Halimun dengan berbagai kepentingan dan melahirkan konflik lahan yang tak berkesudahan
Di sisi lain dalam proses pembangunan selama ini, pihak masyarakat yang secara turun-temurun mendiami dan menggantungkan hidupnya dari kawasan ini hanya menjadi objek. Posisi masyarakat semakin terpinggirkan (termarginalisasi), bahkan pelabelan yang bersifat negatif disematkan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan ekosistem Halimun dengan tidak adil. Mereka sering disebut dengan kata perambah hutan, peladang liar, atau penebang kayu ilegal. Sebutan ini dituduhkan pada masyarakat yang hidup dan tinggal di kawasan konservasi. Bahkan, pemerintah sendiri cenderung memberikan nama untuk suatu kegiatan masyarakat tersebut. Contohnya adanya kegiatan pemberian bantuan kambing dari pemerintah untuk masyarakat sekitar hutan sebagai salah satu program yang ditunjukkan untuk mengurangi perambahan hutan di kawasan Halimun oleh masyarakat.
Persoalan yang juga mengemuka di kawasan Halimun ialah akses dan hak masyarakat dalam mengelola sumber daya alam di kawasan ini yang semakin dibatasi dan dihilangkan. Hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat di tiga desa di kawasan Halimun dengan difasilitasi RM dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) nenunjukkan bahwa lahan yang bisa diakses dan dikelola oleh masyarakat hanya sekitar 4,20%-18,58% dari luas areal yang dialokasikan secara administrasi oleh pemerintah.
Akar permasalahan yang berkecamuk di kawasan ekosistem Halimun disebabkan oleh persepsi atau pandangan dan pemahaman yang berbeda tentang kawasan Halimun di antara masyarakat serta pihak-pihak lain, yaitu negara/ pemerintah dan perusahaan yang kemudian dimanifestasikan dalam kebijakan yang juga masih tumpang-tindih dan bersifat sektoral sehingga memunculkan berbagai konflik salah satunya konflik lahan. Sebagai contoh, kawasan Halimun ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun sejak tahun 1992 dengan luas 40.000 ha dan diperluas menjadi 113.375 ha pada tahun 2003. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dalam kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi, ternyata masih dialokasikan juga untuk areal eksploitasi tambang emas, perak, dan bentonit; areal perkebunan teh PT Ciangsana; dan hutan produksi yang dikelola PERHUTANI dengan tanaman pinus.
Diadaptasi dari: Menepis Kabut Halimun (Hendarti)
Berdasarkan paragraf pertama, mengapa kawasan Halimun dapat diibaratkan sebagai mata uang yang memiliki dua sisi?