Surau kecil itu berada di salah satu sudut tambalk yang lumayan lebar. Seperti balai kambang. Disangga oleh empat batang kelapa yang terpancang ke dasar tambak. Surau itu kadang tampak seperti perahu
atau rumah panggung kecil di atas air. Dan siapa saja yang mau salat di sana akan berjalan melewati titian berupa pancuran yang dikelilingi bilik anyaman daun kelapa. Pancuran itu memasok air segar dari lereng bukit ke dalam kolam. Di balik bilik itu orang berwudu, biasanya sesudah membuang hajat.
Karena agak jauh dari permukiman, surau itu hanya dipergunakan orang untuk salat lohor dan asar di siang hari. Setelah matahari terbenam, surau itu
gelap merana. Burung hantu yang sedang mengintai ikan suka bertengger di atapnya. Hanya beberapa
orang yang biasa salat di sana. Di antaranya dua orang penyadap nira. Sering juga ada pedagang keliling
singgah untuk menunaikan ibadah. Selebihnya-hanya kadang-kadang-adalah saya dan Kang Nurya. Saya sering berada di sana karena saya pemilik tambak itu. Dan Kang Nurya, pemilik satu-satunya kerbau terakhir di kampung ini, punya kebiasaan menggembala ternaknya dekat tambak saya. Maka kami sering salat bersama, kemudian lesehan dan mengobrol berdua di serambi.
Dikutip dari: Ahmad Tohari, "Harta Gantungan dalam Mata yang Enak Dipandang, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2013
Tafsiran yang tepat sesuai kutipan cerpen tersebut adalah...