Perhatikan kutipan penggalan cerpen di bawah ini.
Pagi sekitar jam 9, tanggal 1 Mei kemarin, saya berangkat ke Bahaur-Kuala Kapuas ~ Kalimantan Tengah. Saya dijemput H. Soeharto di sebuah hotel Palangkaraya. Perjalanan ke Bahaur memakan waktu 4 jam. Sebagian jalan yang kami lalui… aduuuh sakit…banyak lubang…jalan berupa tanah merah bercampur pasir. Dipertengahan jalan, hujan turun lebat. Jalan jadi sangat licin. Untungnya, H. Soeharto membawa mobil dobel gardan, perjalanan jadi lancar. Untung juga H Soeharto mengajak Kabul warga Pangku, sebagai pemandu jalan, sehingga kami tidak tersesat.
Bahaur adalah salah satu sentra walet di Kalimantan Tengah. Di Bahaur sudah berdiri puluhan gedung walet dengan berbagai ukuran. Untuk menuju ke kota kecil ini, bisa melalui Kapuas kemudian melewati jalur sungai menggunakan speed boad, dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Sedang jika melalui jalur darat, harus lewat Pulang Pisau. Saya sengaja memilih jalur darat karena juga ingin melihat sentra walet yang baru berkembang, yaitu di Pangku. Posisi Pangku ada di pertengahan antara Palangkaraya ~ Bahaur. Di Pangku, baru berdiri sekitar 15 gedung walet dengan jumlah populasi burung walet yang lumayan banyak.
Sampai di Bahaur sekitar jam 13.00, saya disambut Saiful. Anak muda ini penduduk lokal. Sehari-hari sebagai guru bahasa Inggris di SMP swasta setempat. Gedung waletnya berukuran paket hemat 5 m X 15 m tinggi 3 lantai, berdiri di pinggir sungai. Lokasi gedung waletnya sekitar tiga km dari pasar / sentra walet. Tidak jauh dari Saiful adalah lokasi walet saya. Saya tertarik membangun gedung walet di Bahaur karena memang populasi waletnya sangat banyak.
Latar cerita dalam penggalan cerpen tersebut adalah ... .