Tentu saja Ronggo Lawe, sebagai seorang yang amat setia sejak zaman Prabu Kertanegara, berpihak kepada Dyah Gayatri. Namun, karena segan kepada Sang Prabu Kertarajasa yang bijaksana, persaingan dan kebencian yang dilakukan secara diam-diam itu tidak sampai menjalar menjadi permusuhan terbuka.
Kiranya tidak ada terjadi hal-hal yang lebih hebat sebagai akibat masuknya Dara Petak ke dalam kehidupan Sang Prabu, sekiranya tidak terjadi hal yang membakar hati Ronggo Lawe, yaitu pengangkatan Patih Hamangku Bumi, yaitu Patih Kerajaan Mojapahit. Yang diangkat oleh Sang Prabu menjadi pembesar yang tertinggi dan paling berkuasa sesudah raja yaitu Senopati Nambi.
Pengangkatan ini memang banyak terpengaruh oleh bujukan Dara Petak. Mendengar akan pengangkatan patih ini, merahlah muka Adipati Ronggo Lawe. Ketika mendengar berita ini dia sedang makan, seperti biasa dilayani oleh kedua orang istrinya yang setia, yaitu Dewi Mertorogo dan Tirtowati. Mendengar berita itu dari seorang penyelidikyang datang
menghadap pada waktu sang adipati sedang makan, RonggoLawe marah bukan main. Nasi yang sudah di kepalanya itu dibanting ke atas lantai dan karena dalam kemarahan tadi Sang Adipati menggunakan aji kedigdayaannya, maka nasi sekepal itu amblas ke dalam lantai. Kemudian terdengar bunyi berkerotok dan ujung meja diremasnya menjadi hancur.
“Kakangmas Adipati….Semoga tenang…” Dewi Mertorogo menghibur suaminya. "Ingat, Kak Adipati.... sungguh celaka jika mengembalikan berkah Ibu Pertiwi seperti itu..."
(Kemelut di Majapahit-S.H. Mintarja)
Peristiwa penting yang diungkapkandalam kutipan novel tersebut adalah