Soal UTBK Set-3 no 6-10

Soal UTBK Set-3 no 6-10

University

8 Qs

quiz-placeholder

Similar activities

Kuis Pelayanan Publik Inklusif dan Ramah Kelompok Rentan

Kuis Pelayanan Publik Inklusif dan Ramah Kelompok Rentan

University

10 Qs

IMK16

IMK16

University

10 Qs

LATIHAN KEGIATAN 3

LATIHAN KEGIATAN 3

University

4 Qs

Quiz tentang Modul 2.3 Guru Penggerak

Quiz tentang Modul 2.3 Guru Penggerak

5th Grade - University

10 Qs

Mahasiswa Kesehatan

Mahasiswa Kesehatan

University

6 Qs

Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat

Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat

University

10 Qs

BIMTEK ULD UBMG

BIMTEK ULD UBMG

University

10 Qs

Disabilities

Disabilities

12th Grade - University

7 Qs

Soal UTBK Set-3 no 6-10

Soal UTBK Set-3 no 6-10

Assessment

Quiz

Other

University

Hard

Created by

Muhammad Fadely

Used 1+ times

FREE Resource

8 questions

Show all answers

1.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

30 sec • 1 pt

Penyandang disabilitas masih kerap menjadi korban ableisme. Ableisme adalah stereotipe dan prasangka terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang dianggap inferior dan tak berdaya. Bahkan, terkadang disertai semangat untuk “memperbaiki” mereka agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal.

Bentuk konkret praktik ableisme dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di media, misalnya, pemberitaan tentang penyandang disabilitas lebih sering memunculkan mereka sebagai orang yang menderita atau perlu dikasihani. Praktiknya juga telah mengakar dalam sistem kenegaraan. Sistem pendidikan di Indonesia, misalnya, selama ini memisahkan siswa penyandang disabilitas. Mereka harus menempuh sekolah khusus agar tidak bercampur dengan siswa yang dianggap “normal”. Seakan ada dikotomi bahwa sekolah umum adalah untuk siswa yang dikatakan “normal”, sementara siswa yang memiliki disabilitas disediakan sekolah luar biasa (SLB).

Meluasnya perspektif ableisme terjadi disebabkan oleh paradigma dalam melihat persoalan disabilitas. Masyarakat kebanyakan masih memandang disabilitas melalui paradigma sosial, yakni melihat isu disabilitas sebagai sebuah permasalahan sosial. Paradigma ini memosisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang butuh belas kasihan dan sebagai objek yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu oleh lingkungan sekitar dan juga negara.

Untuk mengubah stigma ini, persoalan disabilitas perlu dilihat menggunakan paradigma HAM. Paradigma ini melihat bahwa penyandang disabilitas setara dengan warga negara yang lain, hanya saja memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga negara perlu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan tersebut. Paradigma HAM ini menekankan pada menghilangkan hambatan fisik dan sosial sehingga penyandang disabilitas memiliki kemandirian, pilihan, serta kontrol. Dalam paradigma ini, pengambilan dan perubahan kebijakan mensyaratkan keterlibatan penuh penyandang disabilitas.

Sumber: theconversation.com/id (dengan modifikasi)

Penyandang disabilitas dianggap tidak berdaya dalam pandangan ableisme (Benar)

Penyandang disabilitas dianggap tidak berdaya dalam pandangan ableisme (Salah)

2.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

30 sec • 1 pt

Penyandang disabilitas masih kerap menjadi korban ableisme. Ableisme adalah stereotipe dan prasangka terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang dianggap inferior dan tak berdaya. Bahkan, terkadang disertai semangat untuk “memperbaiki” mereka agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal.

Bentuk konkret praktik ableisme dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di media, misalnya, pemberitaan tentang penyandang disabilitas lebih sering memunculkan mereka sebagai orang yang menderita atau perlu dikasihani. Praktiknya juga telah mengakar dalam sistem kenegaraan. Sistem pendidikan di Indonesia, misalnya, selama ini memisahkan siswa penyandang disabilitas. Mereka harus menempuh sekolah khusus agar tidak bercampur dengan siswa yang dianggap “normal”. Seakan ada dikotomi bahwa sekolah umum adalah untuk siswa yang dikatakan “normal”, sementara siswa yang memiliki disabilitas disediakan sekolah luar biasa (SLB).

Meluasnya perspektif ableisme terjadi disebabkan oleh paradigma dalam melihat persoalan disabilitas. Masyarakat kebanyakan masih memandang disabilitas melalui paradigma sosial, yakni melihat isu disabilitas sebagai sebuah permasalahan sosial. Paradigma ini memosisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang butuh belas kasihan dan sebagai objek yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu oleh lingkungan sekitar dan juga negara.

Untuk mengubah stigma ini, persoalan disabilitas perlu dilihat menggunakan paradigma HAM. Paradigma ini melihat bahwa penyandang disabilitas setara dengan warga negara yang lain, hanya saja memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga negara perlu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan tersebut. Paradigma HAM ini menekankan pada menghilangkan hambatan fisik dan sosial sehingga penyandang disabilitas memiliki kemandirian, pilihan, serta kontrol. Dalam paradigma ini, pengambilan dan perubahan kebijakan mensyaratkan keterlibatan penuh penyandang disabilitas.

Sumber: theconversation.com/id (dengan modifikasi)

Penyandang disabilitas perlu dikontrol agar menjadi berdaya dan mandiri (Benar)


Penyandang disabilitas perlu dikontrol agar menjadi berdaya dan mandiri (Salah)


3.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

30 sec • 1 pt

Penyandang disabilitas masih kerap menjadi korban ableisme. Ableisme adalah stereotipe dan prasangka terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang dianggap inferior dan tak berdaya. Bahkan, terkadang disertai semangat untuk “memperbaiki” mereka agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal.

Bentuk konkret praktik ableisme dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di media, misalnya, pemberitaan tentang penyandang disabilitas lebih sering memunculkan mereka sebagai orang yang menderita atau perlu dikasihani. Praktiknya juga telah mengakar dalam sistem kenegaraan. Sistem pendidikan di Indonesia, misalnya, selama ini memisahkan siswa penyandang disabilitas. Mereka harus menempuh sekolah khusus agar tidak bercampur dengan siswa yang dianggap “normal”. Seakan ada dikotomi bahwa sekolah umum adalah untuk siswa yang dikatakan “normal”, sementara siswa yang memiliki disabilitas disediakan sekolah luar biasa (SLB).

Meluasnya perspektif ableisme terjadi disebabkan oleh paradigma dalam melihat persoalan disabilitas. Masyarakat kebanyakan masih memandang disabilitas melalui paradigma sosial, yakni melihat isu disabilitas sebagai sebuah permasalahan sosial. Paradigma ini memosisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang butuh belas kasihan dan sebagai objek yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu oleh lingkungan sekitar dan juga negara.

Untuk mengubah stigma ini, persoalan disabilitas perlu dilihat menggunakan paradigma HAM. Paradigma ini melihat bahwa penyandang disabilitas setara dengan warga negara yang lain, hanya saja memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga negara perlu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan tersebut. Paradigma HAM ini menekankan pada menghilangkan hambatan fisik dan sosial sehingga penyandang disabilitas memiliki kemandirian, pilihan, serta kontrol. Dalam paradigma ini, pengambilan dan perubahan kebijakan mensyaratkan keterlibatan penuh penyandang disabilitas.

Sumber: theconversation.com/id (dengan modifikasi)

Penyandang disabilitas perlu menghilangkan stereotipe ableisme di masyarakat (Benar)


Penyandang disabilitas perlu menghilangkan stereotipe ableisme di masyarakat (Salah)


4.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

30 sec • 1 pt

Penyandang disabilitas masih kerap menjadi korban ableisme. Ableisme adalah stereotipe dan prasangka terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang dianggap inferior dan tak berdaya. Bahkan, terkadang disertai semangat untuk “memperbaiki” mereka agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal.

Bentuk konkret praktik ableisme dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di media, misalnya, pemberitaan tentang penyandang disabilitas lebih sering memunculkan mereka sebagai orang yang menderita atau perlu dikasihani. Praktiknya juga telah mengakar dalam sistem kenegaraan. Sistem pendidikan di Indonesia, misalnya, selama ini memisahkan siswa penyandang disabilitas. Mereka harus menempuh sekolah khusus agar tidak bercampur dengan siswa yang dianggap “normal”. Seakan ada dikotomi bahwa sekolah umum adalah untuk siswa yang dikatakan “normal”, sementara siswa yang memiliki disabilitas disediakan sekolah luar biasa (SLB).

Meluasnya perspektif ableisme terjadi disebabkan oleh paradigma dalam melihat persoalan disabilitas. Masyarakat kebanyakan masih memandang disabilitas melalui paradigma sosial, yakni melihat isu disabilitas sebagai sebuah permasalahan sosial. Paradigma ini memosisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang butuh belas kasihan dan sebagai objek yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu oleh lingkungan sekitar dan juga negara.

Untuk mengubah stigma ini, persoalan disabilitas perlu dilihat menggunakan paradigma HAM. Paradigma ini melihat bahwa penyandang disabilitas setara dengan warga negara yang lain, hanya saja memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga negara perlu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan tersebut. Paradigma HAM ini menekankan pada menghilangkan hambatan fisik dan sosial sehingga penyandang disabilitas memiliki kemandirian, pilihan, serta kontrol. Dalam paradigma ini, pengambilan dan perubahan kebijakan mensyaratkan keterlibatan penuh penyandang disabilitas.

Sumber: theconversation.com/id (dengan modifikasi)

Perlu melibatkan penyandang disabilitas dalam pengambilankebijakan (Benar)


Perlu melibatkan penyandang disabilitas dalam pengambilankebijakan (Salah)


5.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

30 sec • 1 pt

Penyandang disabilitas masih kerap menjadi korban ableisme. Ableisme adalah stereotipe dan prasangka terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang dianggap inferior dan tak berdaya. Bahkan, terkadang disertai semangat untuk “memperbaiki” mereka agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal.

Bentuk konkret praktik ableisme dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di media, misalnya, pemberitaan tentang penyandang disabilitas lebih sering memunculkan mereka sebagai orang yang menderita atau perlu dikasihani. Praktiknya juga telah mengakar dalam sistem kenegaraan. Sistem pendidikan di Indonesia, misalnya, selama ini memisahkan siswa penyandang disabilitas. Mereka harus menempuh sekolah khusus agar tidak bercampur dengan siswa yang dianggap “normal”. Seakan ada dikotomi bahwa sekolah umum adalah untuk siswa yang dikatakan “normal”, sementara siswa yang memiliki disabilitas disediakan sekolah luar biasa (SLB).

Meluasnya perspektif ableisme terjadi disebabkan oleh paradigma dalam melihat persoalan disabilitas. Masyarakat kebanyakan masih memandang disabilitas melalui paradigma sosial, yakni melihat isu disabilitas sebagai sebuah permasalahan sosial. Paradigma ini memosisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang butuh belas kasihan dan sebagai objek yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu oleh lingkungan sekitar dan juga negara.

Untuk mengubah stigma ini, persoalan disabilitas perlu dilihat menggunakan paradigma HAM. Paradigma ini melihat bahwa penyandang disabilitas setara dengan warga negara yang lain, hanya saja memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga negara perlu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan tersebut. Paradigma HAM ini menekankan pada menghilangkan hambatan fisik dan sosial sehingga penyandang disabilitas memiliki kemandirian, pilihan, serta kontrol. Dalam paradigma ini, pengambilan dan perubahan kebijakan mensyaratkan keterlibatan penuh penyandang disabilitas.

Sumber: theconversation.com/id (dengan modifikasi)
Berdasarkan bacaan tersebut, apa yang membedakan paradigma sosial dan paradigma HAM?

Paradigma sosial menganggap penyandang disabilitas sebagai permasalahan sosial,

sedangkan paradigma HAM memandangnya sebagai pihak yang inferior.

Paradigma sosial melihat penyandang disabilitas sebagai pihak yang berdaya,

sedangkan paradigma HAM menganggapnya sebagai warga negara yang perlu diberi

pilihan.

Paradigma sosial berpandangan bahwa penyandang disabilitas perlu dikontrol, sedangkan paradigma HAM berpandangan bahwa penyandang disabilitas perlu dispesialkan.

Paradigma sosial memandang penyandang disabilitas sebagai pihak yang perlu dibantu, sedangkan paradigma HAM menganggapnya sebagai warga yang memiliki kebutuhan berbeda.

Paradigma sosial menilai bahwa penyandang disabilitas perlu bantuan orang lain, sedangkan paradigma HAM menilainya sebagai pihak yang bisa membantu orang lain.

6.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

30 sec • 1 pt

Penyandang disabilitas masih kerap menjadi korban ableisme. Ableisme adalah stereotipe dan prasangka terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang dianggap inferior dan tak berdaya. Bahkan, terkadang disertai semangat untuk “memperbaiki” mereka agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal.

Bentuk konkret praktik ableisme dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di media, misalnya, pemberitaan tentang penyandang disabilitas lebih sering memunculkan mereka sebagai orang yang menderita atau perlu dikasihani. Praktiknya juga telah mengakar dalam sistem kenegaraan. Sistem pendidikan di Indonesia, misalnya, selama ini memisahkan siswa penyandang disabilitas. Mereka harus menempuh sekolah khusus agar tidak bercampur dengan siswa yang dianggap “normal”. Seakan ada dikotomi bahwa sekolah umum adalah untuk siswa yang dikatakan “normal”, sementara siswa yang memiliki disabilitas disediakan sekolah luar biasa (SLB).

Meluasnya perspektif ableisme terjadi disebabkan oleh paradigma dalam melihat persoalan disabilitas. Masyarakat kebanyakan masih memandang disabilitas melalui paradigma sosial, yakni melihat isu disabilitas sebagai sebuah permasalahan sosial. Paradigma ini memosisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang butuh belas kasihan dan sebagai objek yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu oleh lingkungan sekitar dan juga negara.

Untuk mengubah stigma ini, persoalan disabilitas perlu dilihat menggunakan paradigma HAM. Paradigma ini melihat bahwa penyandang disabilitas setara dengan warga negara yang lain, hanya saja memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga negara perlu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan tersebut. Paradigma HAM ini menekankan pada menghilangkan hambatan fisik dan sosial sehingga penyandang disabilitas memiliki kemandirian, pilihan, serta kontrol. Dalam paradigma ini, pengambilan dan perubahan kebijakan mensyaratkan keterlibatan penuh penyandang disabilitas.

Sumber: theconversation.com/id (dengan modifikasi)
Apa kebijakan yang paling mungkin dibuat oleh pemerintah dengan menggunakan paradigma HAM?

Membuat sekolah inklusif yang di dalamnya terdapat anak berkebutuhan khusus dan

anak tidak berkebutuhan khusus.

Memperbanyak bantuan untuk memberdayakan para penyandang disabilitas agar bisa

melakukan aktivitas seperti orang lain pada umumnya.

Membuat restoran khusus untuk penyandang disabilitas agar memudahkan mereka

dengan berbagai kebutuhan khususnya.

Memberi fasilitas pendamping untuk membantu para penyandang disabilitas agar lebih produktif.

Memperbanyak sekolah luar biasa yang mendukung tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus.

7.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

30 sec • 1 pt

Penyandang disabilitas masih kerap menjadi korban ableisme. Ableisme adalah stereotipe dan prasangka terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang dianggap inferior dan tak berdaya. Bahkan, terkadang disertai semangat untuk “memperbaiki” mereka agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal.

Bentuk konkret praktik ableisme dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di media, misalnya, pemberitaan tentang penyandang disabilitas lebih sering memunculkan mereka sebagai orang yang menderita atau perlu dikasihani. Praktiknya juga telah mengakar dalam sistem kenegaraan. Sistem pendidikan di Indonesia, misalnya, selama ini memisahkan siswa penyandang disabilitas. Mereka harus menempuh sekolah khusus agar tidak bercampur dengan siswa yang dianggap “normal”. Seakan ada dikotomi bahwa sekolah umum adalah untuk siswa yang dikatakan “normal”, sementara siswa yang memiliki disabilitas disediakan sekolah luar biasa (SLB).

Meluasnya perspektif ableisme terjadi disebabkan oleh paradigma dalam melihat persoalan disabilitas. Masyarakat kebanyakan masih memandang disabilitas melalui paradigma sosial, yakni melihat isu disabilitas sebagai sebuah permasalahan sosial. Paradigma ini memosisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang butuh belas kasihan dan sebagai objek yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu oleh lingkungan sekitar dan juga negara.

Untuk mengubah stigma ini, persoalan disabilitas perlu dilihat menggunakan paradigma HAM. Paradigma ini melihat bahwa penyandang disabilitas setara dengan warga negara yang lain, hanya saja memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga negara perlu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan tersebut. Paradigma HAM ini menekankan pada menghilangkan hambatan fisik dan sosial sehingga penyandang disabilitas memiliki kemandirian, pilihan, serta kontrol. Dalam paradigma ini, pengambilan dan perubahan kebijakan mensyaratkan keterlibatan penuh penyandang disabilitas.

Sumber: theconversation.com/id (dengan modifikasi)
Bagaimana sikap penulis dalam bacaan tersebut?

Kontra dengan pemerintah karena tidak memperhatikan penyandang disabilitas.

Mendukung pandangan bahwa penyandang disabilitas tidak perlu dituntut untuk melakukan berbagai hal.

Tidak mendukung stigma yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai pihak yang perlu dikasihani.

Pro dengan paradigma HAM yang memandang penyandang disabilitas sebagai warga negara superior.

Mendukung masyarakat untuk memberdayakan penyandang disabilitas dalam berbagai hal.

8.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

30 sec • 1 pt

Penyandang disabilitas masih kerap menjadi korban ableisme. Ableisme adalah stereotipe dan prasangka terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang dianggap inferior dan tak berdaya. Bahkan, terkadang disertai semangat untuk “memperbaiki” mereka agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal.

Bentuk konkret praktik ableisme dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di media, misalnya, pemberitaan tentang penyandang disabilitas lebih sering memunculkan mereka sebagai orang yang menderita atau perlu dikasihani. Praktiknya juga telah mengakar dalam sistem kenegaraan. Sistem pendidikan di Indonesia, misalnya, selama ini memisahkan siswa penyandang disabilitas. Mereka harus menempuh sekolah khusus agar tidak bercampur dengan siswa yang dianggap “normal”. Seakan ada dikotomi bahwa sekolah umum adalah untuk siswa yang dikatakan “normal”, sementara siswa yang memiliki disabilitas disediakan sekolah luar biasa (SLB).

Meluasnya perspektif ableisme terjadi disebabkan oleh paradigma dalam melihat persoalan disabilitas. Masyarakat kebanyakan masih memandang disabilitas melalui paradigma sosial, yakni melihat isu disabilitas sebagai sebuah permasalahan sosial. Paradigma ini memosisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang butuh belas kasihan dan sebagai objek yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu oleh lingkungan sekitar dan juga negara.

Untuk mengubah stigma ini, persoalan disabilitas perlu dilihat menggunakan paradigma HAM. Paradigma ini melihat bahwa penyandang disabilitas setara dengan warga negara yang lain, hanya saja memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga negara perlu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan tersebut. Paradigma HAM ini menekankan pada menghilangkan hambatan fisik dan sosial sehingga penyandang disabilitas memiliki kemandirian, pilihan, serta kontrol. Dalam paradigma ini, pengambilan dan perubahan kebijakan mensyaratkan keterlibatan penuh penyandang disabilitas.

Sumber: theconversation.com/id (dengan modifikasi)
Manakah simpulan yang dapat diambil dari bacaan tersebut?

Ableisme hanya cocok diterapkan di negara dengan paham sosialisme.

Ableisme adalah pandangan yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.

Tidak semua penyandang disabilitas patut dipandang sebagai kelompok yang tidak berdaya.

Penyandang disabilitas bisa menjadi normal jika diperlakukan dengan setara.

Paradigma HAM lebih layak digunakan untuk penyandang disabilitas daripada paradigma

sosial.