Bunga Matahari dan Pertemuannya dengan Hangat
Ayahku sering dipanggil Pak Kebun. Ia orang yang ulet dan sabar. Terutama ketika merawatku. Ia sering bercerita mengenai bagaimana aku tumbuh. Suatu pagi, ia pernah menceritakan bagaimana aku lahir dari biji yang kecil. Kepalaku yang runcing ditancapkan di satu wadah yang bernama polybag. Di pagi yang lain, ia menceritakan bagaimana ia menungguku berkecambah hingga 10 senti atau memunculkan 4 helai daun. Selanjutnya aku dipindahkan ke tanah yang lebih luas.
Pernah suatu siang dia mengeluh sedikit mengenai susahnya aku diberi makan. Katanya aku harus disiram setiap hari. Rentan terhadap hama seperti fungi, serangga, dan bekicot. Aku harus ada dalam tanah campuran pupuk kandang. Perbandingannya yaitu 70% tanah, 30% pupuk kandang, dan tanah harus bekisar pH 6,0-7,5. Ribet deh katanya. Namun, ayah tetap sabar merawat dan menyayangiku tanpa kenal lelah.
Pengalaman berkesan adalah ketika ayah memperkenalkanku pada hangat. Pengalaman yang paling kuingat.
Kata ayahku, hangat adalah suatu hal yang patut disyukuri keberadaannya. Hangat merupakan kata yang muncul di doa-doanya setiap pagi. Kata ayah, aku akan mati jika hangat berubah menjadi panas maupun dingin. Tanpa hangat, aku tidak bisa hidup. Aku bertanya-tanya mengapa aku harus ada bersama hangat minimal 6-8 jam sehari. Ayah hanya tersenyum sambil memberi pupuk dan sedikit air untuk makan siang.
“Suatu saat nanti kamu akan mengerti. Untuk saat ini, sebut saja ia matahari,” begitu katanya.
Matahari, aku menyadari ada yang tumbuh dalam diriku setiap kamu datang memberi hangat. Menembus tanah dan daun basah, memberi makan. Mengangkat tunas-tunas, memekarkan bunga. Betapa senangnya aku.
Matahari, kamu baik hati. Hari-hari berlalu bagai angin. Selama itu pula kamu selalu ada bagaikan sahabat. Kamu mendengarkan aku menyerocos setiap hari. Tentang ini, tentang itu, tentang begini, begitu. Tak pernah sekalipun keberadaanmu ingin aku lewatkan. Aku selalu ingin mendekat. Ayah kadang tertawa melihatku mengikutimu kemanapun engkau pergi. Sedikit-sedikit menengok, melihat kanan-kiri, seakan aku bisa kehilanganmu sewaktu-waktu. Betapa dekatnya kita. Walau engkau di atas nun jauh di sana.
Matahari, terima kasih sudah menjagaku agar tetap ada. Tak terasa seratus hari lebih sudah kita lewati bersama. Kini aku sudah 160 cm, hampir setinggi ayahku. Daun-daunku berwarna hijau. Wajahku besar dihiasi mahkota kuning, mirip dengan warna hangat yang rutin kamu beri. Terima kasih sudah menemaniku dengan sabar selama ini. Mungkin di atas sana terasa sepi. Namun, aku harap kamu tahu bahwa di sini, aku dan teman-temanku mengucap syukur atas keberadaanmu setiap hari. Kami berlomba-lomba untuk mendapat kesempatan memandangmu sedikit lebih dekat. Terima kasih Matahari. Terima kasih Tuhan atas berkah yang diberikan pada kami, makhluk ciptaan-Mu.
Sumber:
https://gdm.id/cara-menanam-bunga-matahari/
https://www.bulirjeruk.com/2015/10/belajar-dari-bunga-matahari.html
https://kutanam.com/cara-menanam-bunga-matahari/
Pertanyaan : Jika Pak Kebun ingin mencari wadah yang tepat untuk menanam bunga matahari, kata kunci yang dapat ia masukkan dalam laman pencarian adalah ...