Pada suatu waktu, pemerintah Indonesia menghadapi perdebatan serius mengenai perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yang dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman. MPR berencana untuk melakukan amandemen terhadap beberapa pasal dalam UUD 1945. Namun, sebagian anggota DPR menilai bahwa perubahan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara. Dalam situasi ini, MK diminta untuk memberikan pendapat hukum terkait keabsahan proses amandemen tersebut, mengingat amandemen ini melibatkan perubahan yang cukup signifikan terhadap struktur pemerintahan negara. DPR yang bertugas sebagai lembaga legislatif menyampaikan pendapatnya tentang urgensi amandemen tersebut, sementara MPR berfungsi sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi. Dalam prosesnya, MK harus menjaga objektivitas dan menguji apakah amandemen yang diajukan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum dan konstitusi yang berlaku.
Berdasarkan studi kasus tersebut, manakah pernyataan berikut yang paling tepat mengenai hubungan kerja antara MK, DPR, dan MPR dalam konteks perubahan konstitusi?
A. MPR sebagai lembaga tertinggi memiliki kewenangan penuh tanpa memerlukan pertimbangan dari MK dan DPR.
B. DPR memiliki kewenangan untuk melakukan amandemen tanpa melibatkan MK, karena DPR merupakan lembaga yang berwenang membuat undang-undang.
C. MK berfungsi sebagai lembaga pengujian konstitusionalitas yang dapat memberikan pandangan hukum dalam proses amandemen yang diusulkan oleh MPR, dengan mempertimbangkan kepentingan hukum dan keadilan.
D. MPR hanya bertugas mengubah konstitusi tanpa perlu memperhatikan pandangan dari DPR dan MK karena MPR adalah lembaga yang berwenang untuk mengubah konstitusi.
E. MK tidak memiliki peran dalam perubahan konstitusi karena hanya berfungsi untuk menguji undang-undang yang sudah disahkan oleh DPR.