PH 1 BAB 4

PH 1 BAB 4

8th Grade

15 Qs

quiz-placeholder

Similar activities

cerpen 9

cerpen 9

8th Grade

20 Qs

Kuis Legenda

Kuis Legenda

8th Grade

10 Qs

Teks Fiksi dan Non Fiksi

Teks Fiksi dan Non Fiksi

8th Grade

10 Qs

Soal Artikel Ilmiah Populer Kelas 8

Soal Artikel Ilmiah Populer Kelas 8

8th Grade

20 Qs

SAS BAHASA INDONESIA KELAS 2 SEMESTER 2

SAS BAHASA INDONESIA KELAS 2 SEMESTER 2

2nd Grade - University

20 Qs

QUIZ 7 huruf 21-23

QUIZ 7 huruf 21-23

7th Grade - Professional Development

20 Qs

ULANGAN HARIAN KE-2 TEKS DRAMA

ULANGAN HARIAN KE-2 TEKS DRAMA

8th Grade

20 Qs

Wulangan Bahasa Jawa Kelas 8: Tembang Macapat Pangkur

Wulangan Bahasa Jawa Kelas 8: Tembang Macapat Pangkur

8th Grade

10 Qs

PH 1 BAB 4

PH 1 BAB 4

Assessment

Quiz

World Languages

8th Grade

Medium

Created by

Besse Wahida

Used 1+ times

FREE Resource

15 questions

Show all answers

1.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 5 pts

Tengka

Karya: Rofiatul Adawiyah

Aku ini si kepala milenial yang menjadi salah satu korban dari kebiasaan orang-orang di tanah kelahiranku sendiri. Itulah mengapa aku menyebutkan; kepulanganku dari tanah rantau merupakan langkah mendekati jurang kebodohan. Mulai dari mendapati pandangan yang kabur, lalu suara-suara mengerikan, hingga ruang berpikir yang sempit, yang dapat memecah isi kepala manusia, termasuk isi kepala perempuan sepertiku yang diketahui belum sepenuhnya memahami kebiasaan orang-orang terdahulu, yang telah lama mereka, yakini sebagai warisan kebaikan dari masa lalu, sehingga mudah bagi mereka untuk menjerumuskanku ke dalam jurang kebodohan. Bahkan berdasarkan informasi yang ada, kebiasaan itu disebut dengan ‘tengka’. Kebiasaan yang tidak hanya dapat memecahkan isi kepala para korbannya, juga merenggut harta benda mereka.

       ‘Tengka’ ini merupakan sebuah kebiasaan memberikan sesuatu, baik berupa uang, benda, maupun jasa kepada mereka yang hendak melaksanakan upacara atau ritual tertentu dengan tujuan menyumbang, membalas budi, menyambung tali silaturahmi; yang telah terbukti nilai kebaikannya sebagai warisan pola tingkah laku dari orang-orang terdahulu.

       Namun menurutku, ‘tengka’ ini sebaiknya tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, bila ternyata ada sebagian orang yang menyalahgunakan dan sebagian yang lain justru merasa tertekan, terbebani, bahkan tersiksa secara ekonomi. Bahkan mengerikan, ketika ‘tengka’ tersebut dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai wadah investasi kekayaan masing-masing, sehingga mereka yang mendapati sumbangan berupa benda, uang, maupun jasa begitu banyak; tetapi tidak memiliki jaminan yang memadai; itu akan membuat mereka merasa terbebani; khususnya pada waktu pengembaliannya.

       “Nduk, apakah kamu ada tabungan lima ratus ribu rupiah?” tanya lirih seorang perempuan paruh baya dari balik pintu yang terbuka lebar, yang tampak seperti telah mendapat informasi bahwa penghasilanku cukup tinggi sehingga beliau datang membawa harapan atas kesulitannya.

       “Eh, Mbok Asri.” celetukku segera tersadar dari kesibukanku dalam menginput soal-soal bahasa Indonesia beserta pembahasannya.

       “Mari masuk dulu, Mbok.” ajakku sembari beranjak dari lantai ruang tamu; di mana laptopku dan sejumlah pekerjaanku berada, menuju kursi ruang tamu. Meski aku telah menyadari bahwa Mbok Asri tampak gelisah dan terburu-buru, tetapi aku tetap memintanya untuk duduk terlebih dahulu karena aku dapat mengerti; beliau sungkan terhadap keluargaku, yang kebetulan Bapak dan Mamak memang sedang berada di sawah.

       “Sebentar ya, Mbok.. aku ambil dulu uangnya.” ucapku tanpa basa-basi sembari meninggalkan tempat menuju kamarku.

       Tidak lama kemudian ….

       “Kalau boleh tahu, uang sebanyak ini untuk apa, Mbok?” tanyaku kembali menghampirinya.

       “Begini Nduk, …. kamu tahu Lek Marni kan?” tanyanya.

       “Iya tahu, Mbok.” sahutku.

       “Nah.. kabarnya tiga hari lagi, mereka akan menikahkan anaknya; si Naila. Kebetulan keluarga mereka pernah menyumbangkan uang sebesar satu juta rupiah pada waktu acara pernikahan anak Mbok, Mas Danimu.” jelasnya.

       “Sebenarnya Mbok sudah berusaha mengumpulkan uang dari jauh-jauh hari, tetapi uang yang terkumpul masih sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah, sehingga Mbok tidak mungkin bisa mengumpulkannya secepat itu. Bahkan, Mbok sudah keliling mencari pinjaman, tetapi tidak ada yang mau meminjamkan uang sepeser pun. Mbok berharap kamu bisa membantu meringankan beban ini.” ucapnya.

       “Tengka itu ternyata berat ya, Mbok.” tanyaku.

       “Tentu saja, Nduk.” sahutnya.

       “Jumlah uang sebesar itu, mana mungkin Mbok tidak merasa terbebani. Kan kamu tahu sendiri, suami Mbok sudah lama meninggal. Sementara, Mbok hanya seorang penjual kue keliling yang berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan anak satu-satunya, Mas Danimu itu tidak mau lagi menginap di rumah. Sepertinya dia itu malu untuk berlama-lama tinggal di rumah yang kecil seperti gubuk, karena istrinya merupakan anak orang kaya.” jelasnya.

       “Janganlah bicara seperti itu, Mbok.” balasku berusaha menepis pernyataannya.

       “Tapi memang seperti itu kenyataannya, Nduk. Padahal Mbok tidak pernah meminta Masmu itu untuk membantu mengembalikan berbagai ‘tengka’ yang ada. Mbok hanya ingin bertemu dengan anak Mbok satu-satunya itu karena kita sudah cukup lama tidak bertemu.” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

       “Mbok yang sabar dulu, ya. Barangkali, Mas Dani masih sibuk bekerja untuk menafkahi istrinya, Mbok.” sambungku tanpa memberikan pernyataan yang dapat merusak jalinan hubungan antara ibu dan anak tersebut.

       “Oh ya, ini uangnya Mbok.” ucapku segera memberikan uang yang dibutuhkannya sekaligus bermaksud menghentikan pembahasan di antara kami.

       “Terima kasih banyak ya, Nduk.” ucapnya.

       “Dalam waktu seminggu, Mbok usahakan uang ini sudah kembali.” sambungnya.

       “Iya, sama-sama Mbok.” sahutku.

       “Kalau memang belum ada, tidak perlu terburu-buru, Mbok.” ucapku.

       “Sekali lagi terima kasih, Nduk. Mbok pulang dulu..” pamitnya terburu-buru.

       “Iya, hati-hati Mbok.” sahutku tanpa berpikir panjang, tanpa mencegahnya untuk sekedar makan atau minum terlebih dahulu, karena beliau benar-benar tampak menghindari adanya pertemuan dengan Bapak yang keras. Di samping itu, aku segera kembali menyelesaikan pekerjaanku yang sempat terhenti.

       Beberapa menit kemudian, Bapak pun muncul dari balik pintu yang tetap terbuka lebar itu, ternyata beliau memang memutuskan pulang lebih awal dari Mamak. Bapak mengatakan bahwa tubuhnya sangat lelah dan butuh beristirahat yang cukup. Namun, sebelum menuju ke kamarnya, beliau memilih untuk menghampiriku yang sedang menyusun pembahasan soal bahasa Indonesia untuk kelas XII SMA.

       “Siapa yang sudah datang ke rumah ini, Nduk?” tanya Bapak, seperti telah mengetahui kehadiran seseorang sebelum dirinya.

       “Mbok Asri, Pak.” sahutku tanpa berusaha menutupi apapun karena analisa Bapak jarang sekali meleset tentang berbagai perubahan di sekeliling rumah kami.

       “Ada keperluan apa dia ke sini, Nduk?” tanya Bapak.

       “Pasti meminjam uangmu juga, ya.” sambungnya dengan penuh keyakinan.

       “Bapak tahu dari mana?” tanyaku penasaran.

       “Bapak sudah hafal dengan keluh kesah orang-orang di sini yang selalu sama, Nduk. Termasuk keluh kesah si Asri. Bapak rasa seharusnya mereka tidak sesulit itu dalam hidupnya; bila mereka mau mengelola keuangannya dengan baik dan benar sesuai kebutuhan. Bahkan kabarnya, Mbok Asrimu itu selalu meminta kiriman uang kepada si Dani anaknya, hanya saja uang itu cepat habis karena dipakai untuk transaksi judi online. Itulah sebabnya, semua orang di sini sudah enggan untuk meminjamkan uang padanya.” jelasnya.

       “Astaga, aku benar-benar telah kehabisan ruang untuk percaya; berpikir; dan membedakan antara orang pintar dan orang bodoh yang berhasil menjadikan ‘tengka’ ini sebagai alat menjerumuskan orang lain masuk jurang kebodohan, Pak.” ucapku.

       “Sesungguhnya, aku tidak pernah berharap mereka mau melirik status pendidikanku Pak. Aku pun tidak akan berharap adanya kalimat-kalimat indah keluar dari pendirian mereka, tidak sama sekali. Sebab, aku hanya memerlukan ruang untuk mempertahankan isi kepalaku sendiri, untuk menjalani hidup yang sebenar-benarnya. Benar berdasarkan hasil pemikiranku, kemampuanku, kondisi dan keadaanku, tanpa adanya benturan kepentingan dari pihak manapun. Dengan begitu, aku terselamatkan dari berbagai asumsi tentang ‘tengka’ ini, Pak.” sambungku.

       “Jangan terburu-buru dalam memahami sesuatu, Nduk. Tentu saja, ada banyak pandangan baik dan buruk mengenai ‘tengka’ ini karena beda orang, beda keyakinan, beda harapan, beda mimpi.” ucapnya sembari meninggalkan tempat.

Sumber: https://www.ruangguru.com/blog/cerpen-tengka-karya-rofiatul-adawiyah

Kalimat langsung pada cerita di atas ditunjukkan oleh ….

“Dalam waktu seminggu, Mbok usahakan uang ini sudah kembali.” sambungnya.

Kebiasaan yang tidak hanya dapat memecahkan isi kepala para korbannya, juga merenggut harta benda mereka.

Aku ini si kepala milenial yang menjadi salah satu korban dari kebiasaan orang-orang di tanah kelahiranku sendiri.

Beberapa menit kemudian, Bapak pun muncul dari balik pintu yang tetap terbuka lebar itu, ternyata beliau memang memutuskan pulang lebih awal dari Mamak.

2.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 5 pts

Tengka

Karya: Rofiatul Adawiyah

Aku ini si kepala milenial yang menjadi salah satu korban dari kebiasaan orang-orang di tanah kelahiranku sendiri. Itulah mengapa aku menyebutkan; kepulanganku dari tanah rantau merupakan langkah mendekati jurang kebodohan. Mulai dari mendapati pandangan yang kabur, lalu suara-suara mengerikan, hingga ruang berpikir yang sempit, yang dapat memecah isi kepala manusia, termasuk isi kepala perempuan sepertiku yang diketahui belum sepenuhnya memahami kebiasaan orang-orang terdahulu, yang telah lama mereka, yakini sebagai warisan kebaikan dari masa lalu, sehingga mudah bagi mereka untuk menjerumuskanku ke dalam jurang kebodohan. Bahkan berdasarkan informasi yang ada, kebiasaan itu disebut dengan ‘tengka’. Kebiasaan yang tidak hanya dapat memecahkan isi kepala para korbannya, juga merenggut harta benda mereka.

       ‘Tengka’ ini merupakan sebuah kebiasaan memberikan sesuatu, baik berupa uang, benda, maupun jasa kepada mereka yang hendak melaksanakan upacara atau ritual tertentu dengan tujuan menyumbang, membalas budi, menyambung tali silaturahmi; yang telah terbukti nilai kebaikannya sebagai warisan pola tingkah laku dari orang-orang terdahulu.

       Namun menurutku, ‘tengka’ ini sebaiknya tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, bila ternyata ada sebagian orang yang menyalahgunakan dan sebagian yang lain justru merasa tertekan, terbebani, bahkan tersiksa secara ekonomi. Bahkan mengerikan, ketika ‘tengka’ tersebut dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai wadah investasi kekayaan masing-masing, sehingga mereka yang mendapati sumbangan berupa benda, uang, maupun jasa begitu banyak; tetapi tidak memiliki jaminan yang memadai; itu akan membuat mereka merasa terbebani; khususnya pada waktu pengembaliannya.

       “Nduk, apakah kamu ada tabungan lima ratus ribu rupiah?” tanya lirih seorang perempuan paruh baya dari balik pintu yang terbuka lebar, yang tampak seperti telah mendapat informasi bahwa penghasilanku cukup tinggi sehingga beliau datang membawa harapan atas kesulitannya.

       “Eh, Mbok Asri.” celetukku segera tersadar dari kesibukanku dalam menginput soal-soal bahasa Indonesia beserta pembahasannya.

       “Mari masuk dulu, Mbok.” ajakku sembari beranjak dari lantai ruang tamu; di mana laptopku dan sejumlah pekerjaanku berada, menuju kursi ruang tamu. Meski aku telah menyadari bahwa Mbok Asri tampak gelisah dan terburu-buru, tetapi aku tetap memintanya untuk duduk terlebih dahulu karena aku dapat mengerti; beliau sungkan terhadap keluargaku, yang kebetulan Bapak dan Mamak memang sedang berada di sawah.

       “Sebentar ya, Mbok.. aku ambil dulu uangnya.” ucapku tanpa basa-basi sembari meninggalkan tempat menuju kamarku.

       Tidak lama kemudian ….

       “Kalau boleh tahu, uang sebanyak ini untuk apa, Mbok?” tanyaku kembali menghampirinya.

       “Begini Nduk, …. kamu tahu Lek Marni kan?” tanyanya.

       “Iya tahu, Mbok.” sahutku.

       “Nah.. kabarnya tiga hari lagi, mereka akan menikahkan anaknya; si Naila. Kebetulan keluarga mereka pernah menyumbangkan uang sebesar satu juta rupiah pada waktu acara pernikahan anak Mbok, Mas Danimu.” jelasnya.

       “Sebenarnya Mbok sudah berusaha mengumpulkan uang dari jauh-jauh hari, tetapi uang yang terkumpul masih sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah, sehingga Mbok tidak mungkin bisa mengumpulkannya secepat itu. Bahkan, Mbok sudah keliling mencari pinjaman, tetapi tidak ada yang mau meminjamkan uang sepeser pun. Mbok berharap kamu bisa membantu meringankan beban ini.” ucapnya.

       “Tengka itu ternyata berat ya, Mbok.” tanyaku.

       “Tentu saja, Nduk.” sahutnya.

       “Jumlah uang sebesar itu, mana mungkin Mbok tidak merasa terbebani. Kan kamu tahu sendiri, suami Mbok sudah lama meninggal. Sementara, Mbok hanya seorang penjual kue keliling yang berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan anak satu-satunya, Mas Danimu itu tidak mau lagi menginap di rumah. Sepertinya dia itu malu untuk berlama-lama tinggal di rumah yang kecil seperti gubuk, karena istrinya merupakan anak orang kaya.” jelasnya.

       “Janganlah bicara seperti itu, Mbok.” balasku berusaha menepis pernyataannya.

       “Tapi memang seperti itu kenyataannya, Nduk. Padahal Mbok tidak pernah meminta Masmu itu untuk membantu mengembalikan berbagai ‘tengka’ yang ada. Mbok hanya ingin bertemu dengan anak Mbok satu-satunya itu karena kita sudah cukup lama tidak bertemu.” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

       “Mbok yang sabar dulu, ya. Barangkali, Mas Dani masih sibuk bekerja untuk menafkahi istrinya, Mbok.” sambungku tanpa memberikan pernyataan yang dapat merusak jalinan hubungan antara ibu dan anak tersebut.

       “Oh ya, ini uangnya Mbok.” ucapku segera memberikan uang yang dibutuhkannya sekaligus bermaksud menghentikan pembahasan di antara kami.

       “Terima kasih banyak ya, Nduk.” ucapnya.

       “Dalam waktu seminggu, Mbok usahakan uang ini sudah kembali.” sambungnya.

       “Iya, sama-sama Mbok.” sahutku.

       “Kalau memang belum ada, tidak perlu terburu-buru, Mbok.” ucapku.

       “Sekali lagi terima kasih, Nduk. Mbok pulang dulu..” pamitnya terburu-buru.

       “Iya, hati-hati Mbok.” sahutku tanpa berpikir panjang, tanpa mencegahnya untuk sekedar makan atau minum terlebih dahulu, karena beliau benar-benar tampak menghindari adanya pertemuan dengan Bapak yang keras. Di samping itu, aku segera kembali menyelesaikan pekerjaanku yang sempat terhenti.

       Beberapa menit kemudian, Bapak pun muncul dari balik pintu yang tetap terbuka lebar itu, ternyata beliau memang memutuskan pulang lebih awal dari Mamak. Bapak mengatakan bahwa tubuhnya sangat lelah dan butuh beristirahat yang cukup. Namun, sebelum menuju ke kamarnya, beliau memilih untuk menghampiriku yang sedang menyusun pembahasan soal bahasa Indonesia untuk kelas XII SMA.

       “Siapa yang sudah datang ke rumah ini, Nduk?” tanya Bapak, seperti telah mengetahui kehadiran seseorang sebelum dirinya.

       “Mbok Asri, Pak.” sahutku tanpa berusaha menutupi apapun karena analisa Bapak jarang sekali meleset tentang berbagai perubahan di sekeliling rumah kami.

       “Ada keperluan apa dia ke sini, Nduk?” tanya Bapak.

       “Pasti meminjam uangmu juga, ya.” sambungnya dengan penuh keyakinan.

       “Bapak tahu dari mana?” tanyaku penasaran.

       “Bapak sudah hafal dengan keluh kesah orang-orang di sini yang selalu sama, Nduk. Termasuk keluh kesah si Asri. Bapak rasa seharusnya mereka tidak sesulit itu dalam hidupnya; bila mereka mau mengelola keuangannya dengan baik dan benar sesuai kebutuhan. Bahkan kabarnya, Mbok Asrimu itu selalu meminta kiriman uang kepada si Dani anaknya, hanya saja uang itu cepat habis karena dipakai untuk transaksi judi online. Itulah sebabnya, semua orang di sini sudah enggan untuk meminjamkan uang padanya.” jelasnya.

       “Astaga, aku benar-benar telah kehabisan ruang untuk percaya; berpikir; dan membedakan antara orang pintar dan orang bodoh yang berhasil menjadikan ‘tengka’ ini sebagai alat menjerumuskan orang lain masuk jurang kebodohan, Pak.” ucapku.

       “Sesungguhnya, aku tidak pernah berharap mereka mau melirik status pendidikanku Pak. Aku pun tidak akan berharap adanya kalimat-kalimat indah keluar dari pendirian mereka, tidak sama sekali. Sebab, aku hanya memerlukan ruang untuk mempertahankan isi kepalaku sendiri, untuk menjalani hidup yang sebenar-benarnya. Benar berdasarkan hasil pemikiranku, kemampuanku, kondisi dan keadaanku, tanpa adanya benturan kepentingan dari pihak manapun. Dengan begitu, aku terselamatkan dari berbagai asumsi tentang ‘tengka’ ini, Pak.” sambungku.

       “Jangan terburu-buru dalam memahami sesuatu, Nduk. Tentu saja, ada banyak pandangan baik dan buruk mengenai ‘tengka’ ini karena beda orang, beda keyakinan, beda harapan, beda mimpi.” ucapnya sembari meninggalkan tempat.

Sumber: https://www.ruangguru.com/blog/cerpen-tengka-karya-rofiatul-adawiyah

Sudut pandang yang digunakan dalam cerita di atas adalah ….

Orang ketiga terbatas

Orang ketiga seba tahu

Orang pertama tokoh utama

Orang pertama tokoh sampingan

3.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 5 pts

Tengka

Karya: Rofiatul Adawiyah

Aku ini si kepala milenial yang menjadi salah satu korban dari kebiasaan orang-orang di tanah kelahiranku sendiri. Itulah mengapa aku menyebutkan; kepulanganku dari tanah rantau merupakan langkah mendekati jurang kebodohan. Mulai dari mendapati pandangan yang kabur, lalu suara-suara mengerikan, hingga ruang berpikir yang sempit, yang dapat memecah isi kepala manusia, termasuk isi kepala perempuan sepertiku yang diketahui belum sepenuhnya memahami kebiasaan orang-orang terdahulu, yang telah lama mereka, yakini sebagai warisan kebaikan dari masa lalu, sehingga mudah bagi mereka untuk menjerumuskanku ke dalam jurang kebodohan. Bahkan berdasarkan informasi yang ada, kebiasaan itu disebut dengan ‘tengka’. Kebiasaan yang tidak hanya dapat memecahkan isi kepala para korbannya, juga merenggut harta benda mereka.

       ‘Tengka’ ini merupakan sebuah kebiasaan memberikan sesuatu, baik berupa uang, benda, maupun jasa kepada mereka yang hendak melaksanakan upacara atau ritual tertentu dengan tujuan menyumbang, membalas budi, menyambung tali silaturahmi; yang telah terbukti nilai kebaikannya sebagai warisan pola tingkah laku dari orang-orang terdahulu.

       Namun menurutku, ‘tengka’ ini sebaiknya tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, bila ternyata ada sebagian orang yang menyalahgunakan dan sebagian yang lain justru merasa tertekan, terbebani, bahkan tersiksa secara ekonomi. Bahkan mengerikan, ketika ‘tengka’ tersebut dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai wadah investasi kekayaan masing-masing, sehingga mereka yang mendapati sumbangan berupa benda, uang, maupun jasa begitu banyak; tetapi tidak memiliki jaminan yang memadai; itu akan membuat mereka merasa terbebani; khususnya pada waktu pengembaliannya.

       “Nduk, apakah kamu ada tabungan lima ratus ribu rupiah?” tanya lirih seorang perempuan paruh baya dari balik pintu yang terbuka lebar, yang tampak seperti telah mendapat informasi bahwa penghasilanku cukup tinggi sehingga beliau datang membawa harapan atas kesulitannya.

       “Eh, Mbok Asri.” celetukku segera tersadar dari kesibukanku dalam menginput soal-soal bahasa Indonesia beserta pembahasannya.

       “Mari masuk dulu, Mbok.” ajakku sembari beranjak dari lantai ruang tamu; di mana laptopku dan sejumlah pekerjaanku berada, menuju kursi ruang tamu. Meski aku telah menyadari bahwa Mbok Asri tampak gelisah dan terburu-buru, tetapi aku tetap memintanya untuk duduk terlebih dahulu karena aku dapat mengerti; beliau sungkan terhadap keluargaku, yang kebetulan Bapak dan Mamak memang sedang berada di sawah.

       “Sebentar ya, Mbok.. aku ambil dulu uangnya.” ucapku tanpa basa-basi sembari meninggalkan tempat menuju kamarku.

       Tidak lama kemudian ….

       “Kalau boleh tahu, uang sebanyak ini untuk apa, Mbok?” tanyaku kembali menghampirinya.

       “Begini Nduk, …. kamu tahu Lek Marni kan?” tanyanya.

       “Iya tahu, Mbok.” sahutku.

       “Nah.. kabarnya tiga hari lagi, mereka akan menikahkan anaknya; si Naila. Kebetulan keluarga mereka pernah menyumbangkan uang sebesar satu juta rupiah pada waktu acara pernikahan anak Mbok, Mas Danimu.” jelasnya.

       “Sebenarnya Mbok sudah berusaha mengumpulkan uang dari jauh-jauh hari, tetapi uang yang terkumpul masih sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah, sehingga Mbok tidak mungkin bisa mengumpulkannya secepat itu. Bahkan, Mbok sudah keliling mencari pinjaman, tetapi tidak ada yang mau meminjamkan uang sepeser pun. Mbok berharap kamu bisa membantu meringankan beban ini.” ucapnya.

       “Tengka itu ternyata berat ya, Mbok.” tanyaku.

       “Tentu saja, Nduk.” sahutnya.

       “Jumlah uang sebesar itu, mana mungkin Mbok tidak merasa terbebani. Kan kamu tahu sendiri, suami Mbok sudah lama meninggal. Sementara, Mbok hanya seorang penjual kue keliling yang berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan anak satu-satunya, Mas Danimu itu tidak mau lagi menginap di rumah. Sepertinya dia itu malu untuk berlama-lama tinggal di rumah yang kecil seperti gubuk, karena istrinya merupakan anak orang kaya.” jelasnya.

       “Janganlah bicara seperti itu, Mbok.” balasku berusaha menepis pernyataannya.

       “Tapi memang seperti itu kenyataannya, Nduk. Padahal Mbok tidak pernah meminta Masmu itu untuk membantu mengembalikan berbagai ‘tengka’ yang ada. Mbok hanya ingin bertemu dengan anak Mbok satu-satunya itu karena kita sudah cukup lama tidak bertemu.” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

       “Mbok yang sabar dulu, ya. Barangkali, Mas Dani masih sibuk bekerja untuk menafkahi istrinya, Mbok.” sambungku tanpa memberikan pernyataan yang dapat merusak jalinan hubungan antara ibu dan anak tersebut.

       “Oh ya, ini uangnya Mbok.” ucapku segera memberikan uang yang dibutuhkannya sekaligus bermaksud menghentikan pembahasan di antara kami.

       “Terima kasih banyak ya, Nduk.” ucapnya.

       “Dalam waktu seminggu, Mbok usahakan uang ini sudah kembali.” sambungnya.

       “Iya, sama-sama Mbok.” sahutku.

       “Kalau memang belum ada, tidak perlu terburu-buru, Mbok.” ucapku.

       “Sekali lagi terima kasih, Nduk. Mbok pulang dulu..” pamitnya terburu-buru.

       “Iya, hati-hati Mbok.” sahutku tanpa berpikir panjang, tanpa mencegahnya untuk sekedar makan atau minum terlebih dahulu, karena beliau benar-benar tampak menghindari adanya pertemuan dengan Bapak yang keras. Di samping itu, aku segera kembali menyelesaikan pekerjaanku yang sempat terhenti.

       Beberapa menit kemudian, Bapak pun muncul dari balik pintu yang tetap terbuka lebar itu, ternyata beliau memang memutuskan pulang lebih awal dari Mamak. Bapak mengatakan bahwa tubuhnya sangat lelah dan butuh beristirahat yang cukup. Namun, sebelum menuju ke kamarnya, beliau memilih untuk menghampiriku yang sedang menyusun pembahasan soal bahasa Indonesia untuk kelas XII SMA.

       “Siapa yang sudah datang ke rumah ini, Nduk?” tanya Bapak, seperti telah mengetahui kehadiran seseorang sebelum dirinya.

       “Mbok Asri, Pak.” sahutku tanpa berusaha menutupi apapun karena analisa Bapak jarang sekali meleset tentang berbagai perubahan di sekeliling rumah kami.

       “Ada keperluan apa dia ke sini, Nduk?” tanya Bapak.

       “Pasti meminjam uangmu juga, ya.” sambungnya dengan penuh keyakinan.

       “Bapak tahu dari mana?” tanyaku penasaran.

       “Bapak sudah hafal dengan keluh kesah orang-orang di sini yang selalu sama, Nduk. Termasuk keluh kesah si Asri. Bapak rasa seharusnya mereka tidak sesulit itu dalam hidupnya; bila mereka mau mengelola keuangannya dengan baik dan benar sesuai kebutuhan. Bahkan kabarnya, Mbok Asrimu itu selalu meminta kiriman uang kepada si Dani anaknya, hanya saja uang itu cepat habis karena dipakai untuk transaksi judi online. Itulah sebabnya, semua orang di sini sudah enggan untuk meminjamkan uang padanya.” jelasnya.

       “Astaga, aku benar-benar telah kehabisan ruang untuk percaya; berpikir; dan membedakan antara orang pintar dan orang bodoh yang berhasil menjadikan ‘tengka’ ini sebagai alat menjerumuskan orang lain masuk jurang kebodohan, Pak.” ucapku.

       “Sesungguhnya, aku tidak pernah berharap mereka mau melirik status pendidikanku Pak. Aku pun tidak akan berharap adanya kalimat-kalimat indah keluar dari pendirian mereka, tidak sama sekali. Sebab, aku hanya memerlukan ruang untuk mempertahankan isi kepalaku sendiri, untuk menjalani hidup yang sebenar-benarnya. Benar berdasarkan hasil pemikiranku, kemampuanku, kondisi dan keadaanku, tanpa adanya benturan kepentingan dari pihak manapun. Dengan begitu, aku terselamatkan dari berbagai asumsi tentang ‘tengka’ ini, Pak.” sambungku.

       “Jangan terburu-buru dalam memahami sesuatu, Nduk. Tentu saja, ada banyak pandangan baik dan buruk mengenai ‘tengka’ ini karena beda orang, beda keyakinan, beda harapan, beda mimpi.” ucapnya sembari meninggalkan tempat.

Sumber: https://www.ruangguru.com/blog/cerpen-tengka-karya-rofiatul-adawiyah

Paragraf terakhir pada cerita di atas termasuk struktur cerita bagian ….

Orientasi

Komplikasi

Resolusi

Koda

4.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 5 pts

Tengka

Karya: Rofiatul Adawiyah

Aku ini si kepala milenial yang menjadi salah satu korban dari kebiasaan orang-orang di tanah kelahiranku sendiri. Itulah mengapa aku menyebutkan; kepulanganku dari tanah rantau merupakan langkah mendekati jurang kebodohan. Mulai dari mendapati pandangan yang kabur, lalu suara-suara mengerikan, hingga ruang berpikir yang sempit, yang dapat memecah isi kepala manusia, termasuk isi kepala perempuan sepertiku yang diketahui belum sepenuhnya memahami kebiasaan orang-orang terdahulu, yang telah lama mereka, yakini sebagai warisan kebaikan dari masa lalu, sehingga mudah bagi mereka untuk menjerumuskanku ke dalam jurang kebodohan. Bahkan berdasarkan informasi yang ada, kebiasaan itu disebut dengan ‘tengka’. Kebiasaan yang tidak hanya dapat memecahkan isi kepala para korbannya, juga merenggut harta benda mereka.

       ‘Tengka’ ini merupakan sebuah kebiasaan memberikan sesuatu, baik berupa uang, benda, maupun jasa kepada mereka yang hendak melaksanakan upacara atau ritual tertentu dengan tujuan menyumbang, membalas budi, menyambung tali silaturahmi; yang telah terbukti nilai kebaikannya sebagai warisan pola tingkah laku dari orang-orang terdahulu.

       Namun menurutku, ‘tengka’ ini sebaiknya tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, bila ternyata ada sebagian orang yang menyalahgunakan dan sebagian yang lain justru merasa tertekan, terbebani, bahkan tersiksa secara ekonomi. Bahkan mengerikan, ketika ‘tengka’ tersebut dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai wadah investasi kekayaan masing-masing, sehingga mereka yang mendapati sumbangan berupa benda, uang, maupun jasa begitu banyak; tetapi tidak memiliki jaminan yang memadai; itu akan membuat mereka merasa terbebani; khususnya pada waktu pengembaliannya.

       “Nduk, apakah kamu ada tabungan lima ratus ribu rupiah?” tanya lirih seorang perempuan paruh baya dari balik pintu yang terbuka lebar, yang tampak seperti telah mendapat informasi bahwa penghasilanku cukup tinggi sehingga beliau datang membawa harapan atas kesulitannya.

       “Eh, Mbok Asri.” celetukku segera tersadar dari kesibukanku dalam menginput soal-soal bahasa Indonesia beserta pembahasannya.

       “Mari masuk dulu, Mbok.” ajakku sembari beranjak dari lantai ruang tamu; di mana laptopku dan sejumlah pekerjaanku berada, menuju kursi ruang tamu. Meski aku telah menyadari bahwa Mbok Asri tampak gelisah dan terburu-buru, tetapi aku tetap memintanya untuk duduk terlebih dahulu karena aku dapat mengerti; beliau sungkan terhadap keluargaku, yang kebetulan Bapak dan Mamak memang sedang berada di sawah.

       “Sebentar ya, Mbok.. aku ambil dulu uangnya.” ucapku tanpa basa-basi sembari meninggalkan tempat menuju kamarku.

       Tidak lama kemudian ….

       “Kalau boleh tahu, uang sebanyak ini untuk apa, Mbok?” tanyaku kembali menghampirinya.

       “Begini Nduk, …. kamu tahu Lek Marni kan?” tanyanya.

       “Iya tahu, Mbok.” sahutku.

       “Nah.. kabarnya tiga hari lagi, mereka akan menikahkan anaknya; si Naila. Kebetulan keluarga mereka pernah menyumbangkan uang sebesar satu juta rupiah pada waktu acara pernikahan anak Mbok, Mas Danimu.” jelasnya.

       “Sebenarnya Mbok sudah berusaha mengumpulkan uang dari jauh-jauh hari, tetapi uang yang terkumpul masih sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah, sehingga Mbok tidak mungkin bisa mengumpulkannya secepat itu. Bahkan, Mbok sudah keliling mencari pinjaman, tetapi tidak ada yang mau meminjamkan uang sepeser pun. Mbok berharap kamu bisa membantu meringankan beban ini.” ucapnya.

       “Tengka itu ternyata berat ya, Mbok.” tanyaku.

       “Tentu saja, Nduk.” sahutnya.

       “Jumlah uang sebesar itu, mana mungkin Mbok tidak merasa terbebani. Kan kamu tahu sendiri, suami Mbok sudah lama meninggal. Sementara, Mbok hanya seorang penjual kue keliling yang berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan anak satu-satunya, Mas Danimu itu tidak mau lagi menginap di rumah. Sepertinya dia itu malu untuk berlama-lama tinggal di rumah yang kecil seperti gubuk, karena istrinya merupakan anak orang kaya.” jelasnya.

       “Janganlah bicara seperti itu, Mbok.” balasku berusaha menepis pernyataannya.

       “Tapi memang seperti itu kenyataannya, Nduk. Padahal Mbok tidak pernah meminta Masmu itu untuk membantu mengembalikan berbagai ‘tengka’ yang ada. Mbok hanya ingin bertemu dengan anak Mbok satu-satunya itu karena kita sudah cukup lama tidak bertemu.” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

       “Mbok yang sabar dulu, ya. Barangkali, Mas Dani masih sibuk bekerja untuk menafkahi istrinya, Mbok.” sambungku tanpa memberikan pernyataan yang dapat merusak jalinan hubungan antara ibu dan anak tersebut.

       “Oh ya, ini uangnya Mbok.” ucapku segera memberikan uang yang dibutuhkannya sekaligus bermaksud menghentikan pembahasan di antara kami.

       “Terima kasih banyak ya, Nduk.” ucapnya.

       “Dalam waktu seminggu, Mbok usahakan uang ini sudah kembali.” sambungnya.

       “Iya, sama-sama Mbok.” sahutku.

       “Kalau memang belum ada, tidak perlu terburu-buru, Mbok.” ucapku.

       “Sekali lagi terima kasih, Nduk. Mbok pulang dulu..” pamitnya terburu-buru.

       “Iya, hati-hati Mbok.” sahutku tanpa berpikir panjang, tanpa mencegahnya untuk sekedar makan atau minum terlebih dahulu, karena beliau benar-benar tampak menghindari adanya pertemuan dengan Bapak yang keras. Di samping itu, aku segera kembali menyelesaikan pekerjaanku yang sempat terhenti.

       Beberapa menit kemudian, Bapak pun muncul dari balik pintu yang tetap terbuka lebar itu, ternyata beliau memang memutuskan pulang lebih awal dari Mamak. Bapak mengatakan bahwa tubuhnya sangat lelah dan butuh beristirahat yang cukup. Namun, sebelum menuju ke kamarnya, beliau memilih untuk menghampiriku yang sedang menyusun pembahasan soal bahasa Indonesia untuk kelas XII SMA.

       “Siapa yang sudah datang ke rumah ini, Nduk?” tanya Bapak, seperti telah mengetahui kehadiran seseorang sebelum dirinya.

       “Mbok Asri, Pak.” sahutku tanpa berusaha menutupi apapun karena analisa Bapak jarang sekali meleset tentang berbagai perubahan di sekeliling rumah kami.

       “Ada keperluan apa dia ke sini, Nduk?” tanya Bapak.

       “Pasti meminjam uangmu juga, ya.” sambungnya dengan penuh keyakinan.

       “Bapak tahu dari mana?” tanyaku penasaran.

       “Bapak sudah hafal dengan keluh kesah orang-orang di sini yang selalu sama, Nduk. Termasuk keluh kesah si Asri. Bapak rasa seharusnya mereka tidak sesulit itu dalam hidupnya; bila mereka mau mengelola keuangannya dengan baik dan benar sesuai kebutuhan. Bahkan kabarnya, Mbok Asrimu itu selalu meminta kiriman uang kepada si Dani anaknya, hanya saja uang itu cepat habis karena dipakai untuk transaksi judi online. Itulah sebabnya, semua orang di sini sudah enggan untuk meminjamkan uang padanya.” jelasnya.

       “Astaga, aku benar-benar telah kehabisan ruang untuk percaya; berpikir; dan membedakan antara orang pintar dan orang bodoh yang berhasil menjadikan ‘tengka’ ini sebagai alat menjerumuskan orang lain masuk jurang kebodohan, Pak.” ucapku.

       “Sesungguhnya, aku tidak pernah berharap mereka mau melirik status pendidikanku Pak. Aku pun tidak akan berharap adanya kalimat-kalimat indah keluar dari pendirian mereka, tidak sama sekali. Sebab, aku hanya memerlukan ruang untuk mempertahankan isi kepalaku sendiri, untuk menjalani hidup yang sebenar-benarnya. Benar berdasarkan hasil pemikiranku, kemampuanku, kondisi dan keadaanku, tanpa adanya benturan kepentingan dari pihak manapun. Dengan begitu, aku terselamatkan dari berbagai asumsi tentang ‘tengka’ ini, Pak.” sambungku.

       “Jangan terburu-buru dalam memahami sesuatu, Nduk. Tentu saja, ada banyak pandangan baik dan buruk mengenai ‘tengka’ ini karena beda orang, beda keyakinan, beda harapan, beda mimpi.” ucapnya sembari meninggalkan tempat.

Sumber: https://www.ruangguru.com/blog/cerpen-tengka-karya-rofiatul-adawiyah

Pesan tersirat yang terdapat dalam cerita di atas adalah ….

Jangan iri atas keberhasilan orang lain

Jangan menyalahgunakan kebaikan orang lain

Jangan memberikan uang kepada sembarangan orang

Janganlah terburu-buru dalam mengambil keputusan

5.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 5 pts

Tengka

Karya: Rofiatul Adawiyah

Aku ini si kepala milenial yang menjadi salah satu korban dari kebiasaan orang-orang di tanah kelahiranku sendiri. Itulah mengapa aku menyebutkan; kepulanganku dari tanah rantau merupakan langkah mendekati jurang kebodohan. Mulai dari mendapati pandangan yang kabur, lalu suara-suara mengerikan, hingga ruang berpikir yang sempit, yang dapat memecah isi kepala manusia, termasuk isi kepala perempuan sepertiku yang diketahui belum sepenuhnya memahami kebiasaan orang-orang terdahulu, yang telah lama mereka, yakini sebagai warisan kebaikan dari masa lalu, sehingga mudah bagi mereka untuk menjerumuskanku ke dalam jurang kebodohan. Bahkan berdasarkan informasi yang ada, kebiasaan itu disebut dengan ‘tengka’. Kebiasaan yang tidak hanya dapat memecahkan isi kepala para korbannya, juga merenggut harta benda mereka.

       ‘Tengka’ ini merupakan sebuah kebiasaan memberikan sesuatu, baik berupa uang, benda, maupun jasa kepada mereka yang hendak melaksanakan upacara atau ritual tertentu dengan tujuan menyumbang, membalas budi, menyambung tali silaturahmi; yang telah terbukti nilai kebaikannya sebagai warisan pola tingkah laku dari orang-orang terdahulu.

       Namun menurutku, ‘tengka’ ini sebaiknya tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, bila ternyata ada sebagian orang yang menyalahgunakan dan sebagian yang lain justru merasa tertekan, terbebani, bahkan tersiksa secara ekonomi. Bahkan mengerikan, ketika ‘tengka’ tersebut dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai wadah investasi kekayaan masing-masing, sehingga mereka yang mendapati sumbangan berupa benda, uang, maupun jasa begitu banyak; tetapi tidak memiliki jaminan yang memadai; itu akan membuat mereka merasa terbebani; khususnya pada waktu pengembaliannya.

       “Nduk, apakah kamu ada tabungan lima ratus ribu rupiah?” tanya lirih seorang perempuan paruh baya dari balik pintu yang terbuka lebar, yang tampak seperti telah mendapat informasi bahwa penghasilanku cukup tinggi sehingga beliau datang membawa harapan atas kesulitannya.

       “Eh, Mbok Asri.” celetukku segera tersadar dari kesibukanku dalam menginput soal-soal bahasa Indonesia beserta pembahasannya.

       “Mari masuk dulu, Mbok.” ajakku sembari beranjak dari lantai ruang tamu; di mana laptopku dan sejumlah pekerjaanku berada, menuju kursi ruang tamu. Meski aku telah menyadari bahwa Mbok Asri tampak gelisah dan terburu-buru, tetapi aku tetap memintanya untuk duduk terlebih dahulu karena aku dapat mengerti; beliau sungkan terhadap keluargaku, yang kebetulan Bapak dan Mamak memang sedang berada di sawah.

       “Sebentar ya, Mbok.. aku ambil dulu uangnya.” ucapku tanpa basa-basi sembari meninggalkan tempat menuju kamarku.

       Tidak lama kemudian ….

       “Kalau boleh tahu, uang sebanyak ini untuk apa, Mbok?” tanyaku kembali menghampirinya.

       “Begini Nduk, …. kamu tahu Lek Marni kan?” tanyanya.

       “Iya tahu, Mbok.” sahutku.

       “Nah.. kabarnya tiga hari lagi, mereka akan menikahkan anaknya; si Naila. Kebetulan keluarga mereka pernah menyumbangkan uang sebesar satu juta rupiah pada waktu acara pernikahan anak Mbok, Mas Danimu.” jelasnya.

       “Sebenarnya Mbok sudah berusaha mengumpulkan uang dari jauh-jauh hari, tetapi uang yang terkumpul masih sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah, sehingga Mbok tidak mungkin bisa mengumpulkannya secepat itu. Bahkan, Mbok sudah keliling mencari pinjaman, tetapi tidak ada yang mau meminjamkan uang sepeser pun. Mbok berharap kamu bisa membantu meringankan beban ini.” ucapnya.

       “Tengka itu ternyata berat ya, Mbok.” tanyaku.

       “Tentu saja, Nduk.” sahutnya.

       “Jumlah uang sebesar itu, mana mungkin Mbok tidak merasa terbebani. Kan kamu tahu sendiri, suami Mbok sudah lama meninggal. Sementara, Mbok hanya seorang penjual kue keliling yang berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan anak satu-satunya, Mas Danimu itu tidak mau lagi menginap di rumah. Sepertinya dia itu malu untuk berlama-lama tinggal di rumah yang kecil seperti gubuk, karena istrinya merupakan anak orang kaya.” jelasnya.

       “Janganlah bicara seperti itu, Mbok.” balasku berusaha menepis pernyataannya.

       “Tapi memang seperti itu kenyataannya, Nduk. Padahal Mbok tidak pernah meminta Masmu itu untuk membantu mengembalikan berbagai ‘tengka’ yang ada. Mbok hanya ingin bertemu dengan anak Mbok satu-satunya itu karena kita sudah cukup lama tidak bertemu.” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

       “Mbok yang sabar dulu, ya. Barangkali, Mas Dani masih sibuk bekerja untuk menafkahi istrinya, Mbok.” sambungku tanpa memberikan pernyataan yang dapat merusak jalinan hubungan antara ibu dan anak tersebut.

       “Oh ya, ini uangnya Mbok.” ucapku segera memberikan uang yang dibutuhkannya sekaligus bermaksud menghentikan pembahasan di antara kami.

       “Terima kasih banyak ya, Nduk.” ucapnya.

       “Dalam waktu seminggu, Mbok usahakan uang ini sudah kembali.” sambungnya.

       “Iya, sama-sama Mbok.” sahutku.

       “Kalau memang belum ada, tidak perlu terburu-buru, Mbok.” ucapku.

       “Sekali lagi terima kasih, Nduk. Mbok pulang dulu..” pamitnya terburu-buru.

       “Iya, hati-hati Mbok.” sahutku tanpa berpikir panjang, tanpa mencegahnya untuk sekedar makan atau minum terlebih dahulu, karena beliau benar-benar tampak menghindari adanya pertemuan dengan Bapak yang keras. Di samping itu, aku segera kembali menyelesaikan pekerjaanku yang sempat terhenti.

       Beberapa menit kemudian, Bapak pun muncul dari balik pintu yang tetap terbuka lebar itu, ternyata beliau memang memutuskan pulang lebih awal dari Mamak. Bapak mengatakan bahwa tubuhnya sangat lelah dan butuh beristirahat yang cukup. Namun, sebelum menuju ke kamarnya, beliau memilih untuk menghampiriku yang sedang menyusun pembahasan soal bahasa Indonesia untuk kelas XII SMA.

       “Siapa yang sudah datang ke rumah ini, Nduk?” tanya Bapak, seperti telah mengetahui kehadiran seseorang sebelum dirinya.

       “Mbok Asri, Pak.” sahutku tanpa berusaha menutupi apapun karena analisa Bapak jarang sekali meleset tentang berbagai perubahan di sekeliling rumah kami.

       “Ada keperluan apa dia ke sini, Nduk?” tanya Bapak.

       “Pasti meminjam uangmu juga, ya.” sambungnya dengan penuh keyakinan.

       “Bapak tahu dari mana?” tanyaku penasaran.

       “Bapak sudah hafal dengan keluh kesah orang-orang di sini yang selalu sama, Nduk. Termasuk keluh kesah si Asri. Bapak rasa seharusnya mereka tidak sesulit itu dalam hidupnya; bila mereka mau mengelola keuangannya dengan baik dan benar sesuai kebutuhan. Bahkan kabarnya, Mbok Asrimu itu selalu meminta kiriman uang kepada si Dani anaknya, hanya saja uang itu cepat habis karena dipakai untuk transaksi judi online. Itulah sebabnya, semua orang di sini sudah enggan untuk meminjamkan uang padanya.” jelasnya.

       “Astaga, aku benar-benar telah kehabisan ruang untuk percaya; berpikir; dan membedakan antara orang pintar dan orang bodoh yang berhasil menjadikan ‘tengka’ ini sebagai alat menjerumuskan orang lain masuk jurang kebodohan, Pak.” ucapku.

       “Sesungguhnya, aku tidak pernah berharap mereka mau melirik status pendidikanku Pak. Aku pun tidak akan berharap adanya kalimat-kalimat indah keluar dari pendirian mereka, tidak sama sekali. Sebab, aku hanya memerlukan ruang untuk mempertahankan isi kepalaku sendiri, untuk menjalani hidup yang sebenar-benarnya. Benar berdasarkan hasil pemikiranku, kemampuanku, kondisi dan keadaanku, tanpa adanya benturan kepentingan dari pihak manapun. Dengan begitu, aku terselamatkan dari berbagai asumsi tentang ‘tengka’ ini, Pak.” sambungku.

       “Jangan terburu-buru dalam memahami sesuatu, Nduk. Tentu saja, ada banyak pandangan baik dan buruk mengenai ‘tengka’ ini karena beda orang, beda keyakinan, beda harapan, beda mimpi.” ucapnya sembari meninggalkan tempat.

Sumber: https://www.ruangguru.com/blog/cerpen-tengka-karya-rofiatul-adawiyah

Kalimat yang menandakan keterangan tempat pada teks di atasadalah ….

“Pasti meminjam uangmu juga, ya.” sambungnya dengan penuh keyakinan.

Bahkan berdasarkan informasi yang ada, kebiasaan itu disebut dengan ‘tengka’.

Kebiasaan yang tidak hanya dapat memecahkan isi kepala para korbannya, juga merenggut harta benda mereka.

  “Mari masuk dulu, Mbok.” ajakku sembari beranjak dari lantai ruang tamu; di mana laptopku dan sejumlah pekerjaanku berada, menuju kursi ruang tamu.

6.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 5 pts

Tengka

Karya: Rofiatul Adawiyah

Aku ini si kepala milenial yang menjadi salah satu korban dari kebiasaan orang-orang di tanah kelahiranku sendiri. Itulah mengapa aku menyebutkan; kepulanganku dari tanah rantau merupakan langkah mendekati jurang kebodohan. Mulai dari mendapati pandangan yang kabur, lalu suara-suara mengerikan, hingga ruang berpikir yang sempit, yang dapat memecah isi kepala manusia, termasuk isi kepala perempuan sepertiku yang diketahui belum sepenuhnya memahami kebiasaan orang-orang terdahulu, yang telah lama mereka, yakini sebagai warisan kebaikan dari masa lalu, sehingga mudah bagi mereka untuk menjerumuskanku ke dalam jurang kebodohan. Bahkan berdasarkan informasi yang ada, kebiasaan itu disebut dengan ‘tengka’. Kebiasaan yang tidak hanya dapat memecahkan isi kepala para korbannya, juga merenggut harta benda mereka.

       ‘Tengka’ ini merupakan sebuah kebiasaan memberikan sesuatu, baik berupa uang, benda, maupun jasa kepada mereka yang hendak melaksanakan upacara atau ritual tertentu dengan tujuan menyumbang, membalas budi, menyambung tali silaturahmi; yang telah terbukti nilai kebaikannya sebagai warisan pola tingkah laku dari orang-orang terdahulu.

       Namun menurutku, ‘tengka’ ini sebaiknya tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, bila ternyata ada sebagian orang yang menyalahgunakan dan sebagian yang lain justru merasa tertekan, terbebani, bahkan tersiksa secara ekonomi. Bahkan mengerikan, ketika ‘tengka’ tersebut dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai wadah investasi kekayaan masing-masing, sehingga mereka yang mendapati sumbangan berupa benda, uang, maupun jasa begitu banyak; tetapi tidak memiliki jaminan yang memadai; itu akan membuat mereka merasa terbebani; khususnya pada waktu pengembaliannya.

       “Nduk, apakah kamu ada tabungan lima ratus ribu rupiah?” tanya lirih seorang perempuan paruh baya dari balik pintu yang terbuka lebar, yang tampak seperti telah mendapat informasi bahwa penghasilanku cukup tinggi sehingga beliau datang membawa harapan atas kesulitannya.

       “Eh, Mbok Asri.” celetukku segera tersadar dari kesibukanku dalam menginput soal-soal bahasa Indonesia beserta pembahasannya.

       “Mari masuk dulu, Mbok.” ajakku sembari beranjak dari lantai ruang tamu; di mana laptopku dan sejumlah pekerjaanku berada, menuju kursi ruang tamu. Meski aku telah menyadari bahwa Mbok Asri tampak gelisah dan terburu-buru, tetapi aku tetap memintanya untuk duduk terlebih dahulu karena aku dapat mengerti; beliau sungkan terhadap keluargaku, yang kebetulan Bapak dan Mamak memang sedang berada di sawah.

       “Sebentar ya, Mbok.. aku ambil dulu uangnya.” ucapku tanpa basa-basi sembari meninggalkan tempat menuju kamarku.

       Tidak lama kemudian ….

       “Kalau boleh tahu, uang sebanyak ini untuk apa, Mbok?” tanyaku kembali menghampirinya.

       “Begini Nduk, …. kamu tahu Lek Marni kan?” tanyanya.

       “Iya tahu, Mbok.” sahutku.

       “Nah.. kabarnya tiga hari lagi, mereka akan menikahkan anaknya; si Naila. Kebetulan keluarga mereka pernah menyumbangkan uang sebesar satu juta rupiah pada waktu acara pernikahan anak Mbok, Mas Danimu.” jelasnya.

       “Sebenarnya Mbok sudah berusaha mengumpulkan uang dari jauh-jauh hari, tetapi uang yang terkumpul masih sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah, sehingga Mbok tidak mungkin bisa mengumpulkannya secepat itu. Bahkan, Mbok sudah keliling mencari pinjaman, tetapi tidak ada yang mau meminjamkan uang sepeser pun. Mbok berharap kamu bisa membantu meringankan beban ini.” ucapnya.

       “Tengka itu ternyata berat ya, Mbok.” tanyaku.

       “Tentu saja, Nduk.” sahutnya.

       “Jumlah uang sebesar itu, mana mungkin Mbok tidak merasa terbebani. Kan kamu tahu sendiri, suami Mbok sudah lama meninggal. Sementara, Mbok hanya seorang penjual kue keliling yang berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan anak satu-satunya, Mas Danimu itu tidak mau lagi menginap di rumah. Sepertinya dia itu malu untuk berlama-lama tinggal di rumah yang kecil seperti gubuk, karena istrinya merupakan anak orang kaya.” jelasnya.

       “Janganlah bicara seperti itu, Mbok.” balasku berusaha menepis pernyataannya.

       “Tapi memang seperti itu kenyataannya, Nduk. Padahal Mbok tidak pernah meminta Masmu itu untuk membantu mengembalikan berbagai ‘tengka’ yang ada. Mbok hanya ingin bertemu dengan anak Mbok satu-satunya itu karena kita sudah cukup lama tidak bertemu.” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

       “Mbok yang sabar dulu, ya. Barangkali, Mas Dani masih sibuk bekerja untuk menafkahi istrinya, Mbok.” sambungku tanpa memberikan pernyataan yang dapat merusak jalinan hubungan antara ibu dan anak tersebut.

       “Oh ya, ini uangnya Mbok.” ucapku segera memberikan uang yang dibutuhkannya sekaligus bermaksud menghentikan pembahasan di antara kami.

       “Terima kasih banyak ya, Nduk.” ucapnya.

       “Dalam waktu seminggu, Mbok usahakan uang ini sudah kembali.” sambungnya.

       “Iya, sama-sama Mbok.” sahutku.

       “Kalau memang belum ada, tidak perlu terburu-buru, Mbok.” ucapku.

       “Sekali lagi terima kasih, Nduk. Mbok pulang dulu..” pamitnya terburu-buru.

       “Iya, hati-hati Mbok.” sahutku tanpa berpikir panjang, tanpa mencegahnya untuk sekedar makan atau minum terlebih dahulu, karena beliau benar-benar tampak menghindari adanya pertemuan dengan Bapak yang keras. Di samping itu, aku segera kembali menyelesaikan pekerjaanku yang sempat terhenti.

       Beberapa menit kemudian, Bapak pun muncul dari balik pintu yang tetap terbuka lebar itu, ternyata beliau memang memutuskan pulang lebih awal dari Mamak. Bapak mengatakan bahwa tubuhnya sangat lelah dan butuh beristirahat yang cukup. Namun, sebelum menuju ke kamarnya, beliau memilih untuk menghampiriku yang sedang menyusun pembahasan soal bahasa Indonesia untuk kelas XII SMA.

       “Siapa yang sudah datang ke rumah ini, Nduk?” tanya Bapak, seperti telah mengetahui kehadiran seseorang sebelum dirinya.

       “Mbok Asri, Pak.” sahutku tanpa berusaha menutupi apapun karena analisa Bapak jarang sekali meleset tentang berbagai perubahan di sekeliling rumah kami.

       “Ada keperluan apa dia ke sini, Nduk?” tanya Bapak.

       “Pasti meminjam uangmu juga, ya.” sambungnya dengan penuh keyakinan.

       “Bapak tahu dari mana?” tanyaku penasaran.

       “Bapak sudah hafal dengan keluh kesah orang-orang di sini yang selalu sama, Nduk. Termasuk keluh kesah si Asri. Bapak rasa seharusnya mereka tidak sesulit itu dalam hidupnya; bila mereka mau mengelola keuangannya dengan baik dan benar sesuai kebutuhan. Bahkan kabarnya, Mbok Asrimu itu selalu meminta kiriman uang kepada si Dani anaknya, hanya saja uang itu cepat habis karena dipakai untuk transaksi judi online. Itulah sebabnya, semua orang di sini sudah enggan untuk meminjamkan uang padanya.” jelasnya.

       “Astaga, aku benar-benar telah kehabisan ruang untuk percaya; berpikir; dan membedakan antara orang pintar dan orang bodoh yang berhasil menjadikan ‘tengka’ ini sebagai alat menjerumuskan orang lain masuk jurang kebodohan, Pak.” ucapku.

       “Sesungguhnya, aku tidak pernah berharap mereka mau melirik status pendidikanku Pak. Aku pun tidak akan berharap adanya kalimat-kalimat indah keluar dari pendirian mereka, tidak sama sekali. Sebab, aku hanya memerlukan ruang untuk mempertahankan isi kepalaku sendiri, untuk menjalani hidup yang sebenar-benarnya. Benar berdasarkan hasil pemikiranku, kemampuanku, kondisi dan keadaanku, tanpa adanya benturan kepentingan dari pihak manapun. Dengan begitu, aku terselamatkan dari berbagai asumsi tentang ‘tengka’ ini, Pak.” sambungku.

       “Jangan terburu-buru dalam memahami sesuatu, Nduk. Tentu saja, ada banyak pandangan baik dan buruk mengenai ‘tengka’ ini karena beda orang, beda keyakinan, beda harapan, beda mimpi.” ucapnya sembari meninggalkan tempat.

Sumber: https://www.ruangguru.com/blog/cerpen-tengka-karya-rofiatul-adawiyah

Tokoh utama dalam cerita tersebut adalah ….

Aku

Mas Dani

Bapak

Mbok Asri

7.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 5 pts

Tengka

Karya: Rofiatul Adawiyah

Aku ini si kepala milenial yang menjadi salah satu korban dari kebiasaan orang-orang di tanah kelahiranku sendiri. Itulah mengapa aku menyebutkan; kepulanganku dari tanah rantau merupakan langkah mendekati jurang kebodohan. Mulai dari mendapati pandangan yang kabur, lalu suara-suara mengerikan, hingga ruang berpikir yang sempit, yang dapat memecah isi kepala manusia, termasuk isi kepala perempuan sepertiku yang diketahui belum sepenuhnya memahami kebiasaan orang-orang terdahulu, yang telah lama mereka, yakini sebagai warisan kebaikan dari masa lalu, sehingga mudah bagi mereka untuk menjerumuskanku ke dalam jurang kebodohan. Bahkan berdasarkan informasi yang ada, kebiasaan itu disebut dengan ‘tengka’. Kebiasaan yang tidak hanya dapat memecahkan isi kepala para korbannya, juga merenggut harta benda mereka.

       ‘Tengka’ ini merupakan sebuah kebiasaan memberikan sesuatu, baik berupa uang, benda, maupun jasa kepada mereka yang hendak melaksanakan upacara atau ritual tertentu dengan tujuan menyumbang, membalas budi, menyambung tali silaturahmi; yang telah terbukti nilai kebaikannya sebagai warisan pola tingkah laku dari orang-orang terdahulu.

       Namun menurutku, ‘tengka’ ini sebaiknya tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, bila ternyata ada sebagian orang yang menyalahgunakan dan sebagian yang lain justru merasa tertekan, terbebani, bahkan tersiksa secara ekonomi. Bahkan mengerikan, ketika ‘tengka’ tersebut dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai wadah investasi kekayaan masing-masing, sehingga mereka yang mendapati sumbangan berupa benda, uang, maupun jasa begitu banyak; tetapi tidak memiliki jaminan yang memadai; itu akan membuat mereka merasa terbebani; khususnya pada waktu pengembaliannya.

       “Nduk, apakah kamu ada tabungan lima ratus ribu rupiah?” tanya lirih seorang perempuan paruh baya dari balik pintu yang terbuka lebar, yang tampak seperti telah mendapat informasi bahwa penghasilanku cukup tinggi sehingga beliau datang membawa harapan atas kesulitannya.

       “Eh, Mbok Asri.” celetukku segera tersadar dari kesibukanku dalam menginput soal-soal bahasa Indonesia beserta pembahasannya.

       “Mari masuk dulu, Mbok.” ajakku sembari beranjak dari lantai ruang tamu; di mana laptopku dan sejumlah pekerjaanku berada, menuju kursi ruang tamu. Meski aku telah menyadari bahwa Mbok Asri tampak gelisah dan terburu-buru, tetapi aku tetap memintanya untuk duduk terlebih dahulu karena aku dapat mengerti; beliau sungkan terhadap keluargaku, yang kebetulan Bapak dan Mamak memang sedang berada di sawah.

       “Sebentar ya, Mbok.. aku ambil dulu uangnya.” ucapku tanpa basa-basi sembari meninggalkan tempat menuju kamarku.

       Tidak lama kemudian ….

       “Kalau boleh tahu, uang sebanyak ini untuk apa, Mbok?” tanyaku kembali menghampirinya.

       “Begini Nduk, …. kamu tahu Lek Marni kan?” tanyanya.

       “Iya tahu, Mbok.” sahutku.

       “Nah.. kabarnya tiga hari lagi, mereka akan menikahkan anaknya; si Naila. Kebetulan keluarga mereka pernah menyumbangkan uang sebesar satu juta rupiah pada waktu acara pernikahan anak Mbok, Mas Danimu.” jelasnya.

       “Sebenarnya Mbok sudah berusaha mengumpulkan uang dari jauh-jauh hari, tetapi uang yang terkumpul masih sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah, sehingga Mbok tidak mungkin bisa mengumpulkannya secepat itu. Bahkan, Mbok sudah keliling mencari pinjaman, tetapi tidak ada yang mau meminjamkan uang sepeser pun. Mbok berharap kamu bisa membantu meringankan beban ini.” ucapnya.

       “Tengka itu ternyata berat ya, Mbok.” tanyaku.

       “Tentu saja, Nduk.” sahutnya.

       “Jumlah uang sebesar itu, mana mungkin Mbok tidak merasa terbebani. Kan kamu tahu sendiri, suami Mbok sudah lama meninggal. Sementara, Mbok hanya seorang penjual kue keliling yang berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan anak satu-satunya, Mas Danimu itu tidak mau lagi menginap di rumah. Sepertinya dia itu malu untuk berlama-lama tinggal di rumah yang kecil seperti gubuk, karena istrinya merupakan anak orang kaya.” jelasnya.

       “Janganlah bicara seperti itu, Mbok.” balasku berusaha menepis pernyataannya.

       “Tapi memang seperti itu kenyataannya, Nduk. Padahal Mbok tidak pernah meminta Masmu itu untuk membantu mengembalikan berbagai ‘tengka’ yang ada. Mbok hanya ingin bertemu dengan anak Mbok satu-satunya itu karena kita sudah cukup lama tidak bertemu.” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

       “Mbok yang sabar dulu, ya. Barangkali, Mas Dani masih sibuk bekerja untuk menafkahi istrinya, Mbok.” sambungku tanpa memberikan pernyataan yang dapat merusak jalinan hubungan antara ibu dan anak tersebut.

       “Oh ya, ini uangnya Mbok.” ucapku segera memberikan uang yang dibutuhkannya sekaligus bermaksud menghentikan pembahasan di antara kami.

       “Terima kasih banyak ya, Nduk.” ucapnya.

       “Dalam waktu seminggu, Mbok usahakan uang ini sudah kembali.” sambungnya.

       “Iya, sama-sama Mbok.” sahutku.

       “Kalau memang belum ada, tidak perlu terburu-buru, Mbok.” ucapku.

       “Sekali lagi terima kasih, Nduk. Mbok pulang dulu..” pamitnya terburu-buru.

       “Iya, hati-hati Mbok.” sahutku tanpa berpikir panjang, tanpa mencegahnya untuk sekedar makan atau minum terlebih dahulu, karena beliau benar-benar tampak menghindari adanya pertemuan dengan Bapak yang keras. Di samping itu, aku segera kembali menyelesaikan pekerjaanku yang sempat terhenti.

       Beberapa menit kemudian, Bapak pun muncul dari balik pintu yang tetap terbuka lebar itu, ternyata beliau memang memutuskan pulang lebih awal dari Mamak. Bapak mengatakan bahwa tubuhnya sangat lelah dan butuh beristirahat yang cukup. Namun, sebelum menuju ke kamarnya, beliau memilih untuk menghampiriku yang sedang menyusun pembahasan soal bahasa Indonesia untuk kelas XII SMA.

       “Siapa yang sudah datang ke rumah ini, Nduk?” tanya Bapak, seperti telah mengetahui kehadiran seseorang sebelum dirinya.

       “Mbok Asri, Pak.” sahutku tanpa berusaha menutupi apapun karena analisa Bapak jarang sekali meleset tentang berbagai perubahan di sekeliling rumah kami.

       “Ada keperluan apa dia ke sini, Nduk?” tanya Bapak.

       “Pasti meminjam uangmu juga, ya.” sambungnya dengan penuh keyakinan.

       “Bapak tahu dari mana?” tanyaku penasaran.

       “Bapak sudah hafal dengan keluh kesah orang-orang di sini yang selalu sama, Nduk. Termasuk keluh kesah si Asri. Bapak rasa seharusnya mereka tidak sesulit itu dalam hidupnya; bila mereka mau mengelola keuangannya dengan baik dan benar sesuai kebutuhan. Bahkan kabarnya, Mbok Asrimu itu selalu meminta kiriman uang kepada si Dani anaknya, hanya saja uang itu cepat habis karena dipakai untuk transaksi judi online. Itulah sebabnya, semua orang di sini sudah enggan untuk meminjamkan uang padanya.” jelasnya.

       “Astaga, aku benar-benar telah kehabisan ruang untuk percaya; berpikir; dan membedakan antara orang pintar dan orang bodoh yang berhasil menjadikan ‘tengka’ ini sebagai alat menjerumuskan orang lain masuk jurang kebodohan, Pak.” ucapku.

       “Sesungguhnya, aku tidak pernah berharap mereka mau melirik status pendidikanku Pak. Aku pun tidak akan berharap adanya kalimat-kalimat indah keluar dari pendirian mereka, tidak sama sekali. Sebab, aku hanya memerlukan ruang untuk mempertahankan isi kepalaku sendiri, untuk menjalani hidup yang sebenar-benarnya. Benar berdasarkan hasil pemikiranku, kemampuanku, kondisi dan keadaanku, tanpa adanya benturan kepentingan dari pihak manapun. Dengan begitu, aku terselamatkan dari berbagai asumsi tentang ‘tengka’ ini, Pak.” sambungku.

       “Jangan terburu-buru dalam memahami sesuatu, Nduk. Tentu saja, ada banyak pandangan baik dan buruk mengenai ‘tengka’ ini karena beda orang, beda keyakinan, beda harapan, beda mimpi.” ucapnya sembari meninggalkan tempat.

Sumber: https://www.ruangguru.com/blog/cerpen-tengka-karya-rofiatul-adawiyah.

Perhatikan kalimat berikut.

Bahkan mengerikan, ketika ‘tengka’ tersebut dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai wadah investasi kekayaan masing-masing.

Kata bercetak miring pada kata tersebut termasuk jenis kata ganti …

Petunjuk

Kepunyaan

Penghubung

Tak tentu

Create a free account and access millions of resources

Create resources
Host any resource
Get auto-graded reports
or continue with
Microsoft
Apple
Others
By signing up, you agree to our Terms of Service & Privacy Policy
Already have an account?