"Jadi, apa yang membawamu kemari?”
“Kenangan.”
“Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap sekitar 30 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Alur dalam kutipan cerpen tersebut adalah...